Berjabat Tangan Kepada Selain Mahram

Definisi berjabat tangan

Ibnu Hajar mendefinisikan berjabat tangan dengan istilah : Aktvitas melekatkan telapak tangan pada telapak tangan orang lain.[1]

            Sedangkan Al Hattab
mengatakan: “Para ulama kami (Malikiyah) mengatakan: Jabat tangan artinya meletakkan telapak tangan pada telapak tangan orang lain dan ditahan beberapa saat, selama rentang waktu yang cukup untuk menyampaikan salam.”[2]

Hukum berjabat tangan dengan lawan jenis

            Hukum berjabat tangan lawan dengan jenis selain mahram adalah haram menurut kesepakatan ulama mazhab tanpa perbedaan pendapat.[3]

1.      Madzhab Hanafi

       Pendapat mazhab ini dinyatakan oleh Ibnu Najim yang mengatakan bahwa tidak boleh menyentuh wajah dan telapak tangan perempuan walaupun aman dari syahwat karena adanya keharaman dan tidak adanya darurat (keperluan mendesak).[4]

2.       Madzhab Maliki.

Mazhab ini menegaskan tidak boleh menyentuh wajah dan telapak tangan perempuan bukan mahram tanpa (kain) penghalang.[5]

3.      Madzhab Syafi'i.

       Pendapat tentang keharaman bersalaman dengan lawan jenis non mahram  mazhab ini ditegaskan oleh al Imam Nawawi dan Imam Waliuddin Al-Iraqi. Berkata Waliuddin :  Nabi  shalallahu’alaihi wassalam tidak pernah menyentuh perempuan yang selain istri-istrinya baik saat membaiat atau situasi lain. Apabila Nabi yang sudah terpelihara dari berbagai macam keraguan tidak melakukannya, maka yang lain semestinya lebih dari itu (tidak melakukan jabat tangan).”[6]

4.       Madzhab Hanbali.

       Imam Ahmad bin Hanbal ditanya bolehkah bersalaman dengan wanita ? beliau menjawab, “ itu sangat dilarang.” Bagaimana kalai dilapisi dengan kain ? beliau kembali menjawab, “tetap tidak boleh.”[7]  


Dalil – dalilnya

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ النُّطْقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ

Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan.” (Mutafaqqun ‘alaih)

            Imam An-Nawawy menjelaskan : “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan.[8]

لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

 “Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)

            Berkata Asy-Syinqithy
: “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang.[9]

إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita
. (HR. Malik dan Ahmad)

            Berkata Ibnu ‘Abdil Barr : “Dalam perkataan beliau ‘aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita’ ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya.”[10]

وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَ

“Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam berbai’at dan beliau tidak membai’at para wanita kecuali dengan perkataannya.”
(Mutafaqqun ‘alaih)

            Berkata Imam An
Nawawi : “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan.[11]


Demikian. Wallahu a’lam.


[1] Fathul Bari (11/54).
[2] Hasyiyah Al Adzkar An Nawawi oleh Ali Asy Syariji, hal. 426.
[3] Al Binayah (9/250), al Bada’i ash Shana’i (5/123), Mughni al Muhtaj (3/132), al Kasyf al Qina (5/15), al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (29/296).
[4] Al Bahr Ar-Raiq (8/219).
[5] Minah al-Jalil ala Syarh Mukhtasar Khalil (1/223).
[6] Al Majmu’ asy Syarhul Muhadzdzab (4/515), Tarhut Tatsrib (7/45-46).
[7] Al Adab Asy Syar'iyyah (2/257).
[8] Syarah shahih Muslim (16/316).
[9] Adwa` Al-Bayan (6/603).
[10] At-Tamhid (12/243).
[11] Syarh Shahih Muslim (13/16).

0 comments

Post a Comment