Pendapat Ulama' tentang Bid'ah

بسم الله الرحمن الرحيم


PENJELASAN SALAFUNAS SHALIH
TENTANG  BID’AH

Berikut adalah pandangan-pandangan beberapa ulama salaf yang diakui dunia Islam tentang ketaqwan dan keilmuan mereka tentang masalah Bid’ah.

Al-Imam asy-Syafi’I
Sumbangan besar al-Imam asy-Syafi`i RA dalam ilmu Usul Fiqih ialah pembagian beliau terhadap makna ‘perkara baru’ (Bid‘ah) menjadi dua hal pokok, bid’ah hasanah dan sayyiah.
Pendapat beliau ini diriwayatkan secara shahih dari dua murid beliau yang terkenal pada zaman akhir kehidupan beliau, yaitu ulama pakar Hadits Mesir yang bernam Harmala bin Yahya at-Tujaybi dan ar-Rabi` bin Sulaiman al-Muradi.
Harmala berkata, “Aku mendengar al-Imam asy-Syafi’i RA berkata: “Bid‘ah itu ada dua macam: Bid‘ah yang terpuji (bid‘ah mahmudah) dan bid‘ah tercela (bid‘ah madzmumah).
Apa yang sesuai dengan Sunnah itu terpuji dan apa yang bertentangan itu tercela.”[1]
Sedangkan ar-Rabi` juga meriwayatkan dari  al-Imam asy-Shafi`i bahwa beliau berkata: “Perkara baharu yang diada-adakan itu ada dua macam: Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar Sahabat atau ijma’ ulama’, maka bid‘ah itu adalah sesat (fa hadhihil-bid‘atu dalalatun). Kedua, perkara baru yang diadakan dari segala kebaikan (ma uhditsa min al-khair) yang tidak bertentangan dengan hal yang disebutkan, yang ini bukan bid‘ah dicela (wa hadhihi muhdatsatun ghairu madzmumah).[2]
Dalam menjelaskan perkataan as-Syafi’i tersebut, al-Imam al-Haitami, al-Qadhi Abu Bakr Ibnu al-`Arabi dan al-Imam al-Laknawi berkata: “Bid‘ah dipandang dari segi Syari‘at ialah segala perkara baru yang diadakan dan bertentangan dengan hukum yang diturunkan Allah, baik berdasarkan dalil-dalil yang nyata atau pun dalil-dalil umum. Maka, hanya Bid‘ah yang menyalahi Sunnah saja yang tercela”.[3]
Mereka menyimpulkan dan berkata: “Maka sangat keliru bila perkara baru dipandang Bid’ah hanya semata-mata kerana ia ‘perkara baru’. Kebid’ahan perkara baru itu ditentukan  dengan dalil-dalil syar’i.

Al-Imam al-Baihaqi
Al-imam al-Baihaqi menjelaskan panjang lebar tentang masalah bid’ah, diantaranya beliau berkata: "Begitu juga dalam hal penjelasan aqidah, hal tersebut adalah  bid‘ah, karena ilmu aqidah adalah menjabarkan beberapa kaidah kepada orang awam yang tidak dikenal sebelumnya (pada zaman Nabi dan sahabat). Namun demikian, hal itu adalah perkara baru yang terpuji (mahmudah) karena ia bertujuan untuk membantah kepalsuan  Bid‘ah ahli falsafah kala itu.”
Beliau juga berkata: “Rasulullah SAW ditanya tentang Qadha’ dan Qadar dan jawabannya adalah sebagaimana yang kita dengar sampai hari ini. Pada masa itu, para Sahabat sudah berpuas hati dengan jawaban yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Namun pada zaman kita ini, banyak ahli Bid’ah yang menyatakan tidak puas dengan jawaban Rasulullah tersebut sehingga mereka tidak mau menerimanya. Nah, untuk menangkis serangan (untuk menolak beberapa ketentuan akidah) yang mereka sebarkan kepada kaum muslimin, kita perlu berhujjah dengan menggunakan kaidah pembuktian yang bisa diterima oleh mereka. Dan sesungguhnya usaha ini, meskipun Bid’ah (baru), datangnya dari Allah juga."[4]
Ini merupakan pembelaan al-Imam al-Baihaqi secara terang-terangan terhadap keperluan ilmu kalam (falsafah ketuhanan) dan sifatnya yang sejalan dengan tuntutan Sunnah, demi untuk mempertahankan ajaran Islam dari pelaku Bid‘ah. Pendirian yang hampir sama juga bisah dilihat di kalangan para Imam besar seperti Ibnu `Asakir, Ibnus-Shalah, an-Nawawi, Ibnus-Subki, Ibn `Abidin dan lainnya.

Al-Qadhi Abu Bakar Ibnnul-‘Arabi al-Maliki.
Beliau berkata ketika mengulas masalah bid’ah: “Ketahuilah bahawa Bid‘ah (al-muhdatsah) itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini adalah Bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan dengan apa yang sudah disepakati, seperti yang dilakukan oleh para Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar, maka hal tersebut bukanlah bid‘ah yang keji dan tercela. Ketahuilah, sesuatu itu tidak dihukumi bid’ah hanya karena ia baru. Allah SWT berfirman:
مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلاَّ اسْتَمَعُوْهُ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ
“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur`an pun yang baru (muhdats) dari Tuhan mereka, melainkan mereka men-dengarnya, sedang mereka bermain-main” (QS. al-Anbiya`: 2).
Dan perkataan Sayyidina `Umar RA: “Alangkah bagusnya bid‘ah ini!”
Kesimpulannya, Bid‘ah tercela hanyalah perkara baru yang bertentangan dengan Sunnah, atau perkara baru yang diadakan dan membawa kita pada kesesatan.”[5]

Hujjatul-Islam al-Imam al-Ghazali.
Ketika mengulas masalah penambahan ‘titik’ pada huruf ayat-ayat al-Qur’an, al-Imam al-Ghazali berkata: “Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru  yang terpuji, seperti sembahyang Terawih secara berjama’ah, ia adalah “Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA, tetapi dipandang sebagai Bid'ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW atau yang bisa merubah Sunnah itu.[6]



Ibnu Hazm az-Zahiri
Ibn Hazm al-Zahiri berkata: “Bid‘ah dalam agama adalah segala hal yang datang pada kita dan tidak disebutkan didalam al-Qur'an atau Hadits Rasulullah SAW. Ia adalah perkara yang  sebagiannya memiliki nilai pahala, sebagaimana yang diriwayatkan dari Sayyidina`Umar RA: “Alangkah baiknya bid‘ah ini!.” Ia merujuk pada semua amalan baik yang dinyatakan oleh nash (al-Qur’an dan Hadits) secara umum, walaupun amalan tersebut  tidak ddijelaskan dalam nas secara khusus. Namun, Di antara hal yang baru, ada yang dicela dan tidak dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya.[7]

Ibnul-Jauzi.
Ibnu Jauzi menyatakan hal yang sama dalam kitabnya, Talbis Iblis. Beliau berkata: “Ada banyak perkara baru (muhdats) yang diamalkan orang dan tidak berlawanan dengan Syari‘at. Ulama mereka salaf menganggap bahwa hal tersebut tidak mengapa untuk diamalkan.”

Ibnul-Atsir al-Jazari
Pakar kamus bahasa Arab, Ibnul-Atsir menyebut di dalam kitabnya, an-Nihayah fi Gharib al-Hadits wal-Atsar:
"Bid‘ah itu ada dua macam: Bid‘ah petunjuk (bid‘atu huda) dan bid‘ah yang sesat (bid`atu dalalah). Segala hal yang menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya adalah terkutuk dan dipersalahkan. Dan segala hal yang masuk dalam keumuman ketentuan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintahkan atau anjuran, adalah hal yang dipuji. Rasulullah SAW telah menyebutkan bahwa amalan seperti itu diberi pahala. Beliau bersabda: ‘Barang siapa memulai suatu amalan yang baik dalam Islam, maka ia memperoleh pahalanya dan paha orang-orang yang mengikutinya’. Begitu juga sebaliknya, Rasulullah SAW bersabda:  ‘Barang siapa yang memulai amalan buruk dalam Islam, maka ia memikul dosanya dan dosa orang lain yang mengikutinya.’[8] Dengan demikian, Hadits yang menyebutkan “setiap yang baharu itu sesat”[9] hendaknya disimpulkan dengan  “segala hal baru yang bertentangan dengan asas-asas Syari‘at dan menyalahi Sunnah.[10]

Al-Imam al-Izz Ibnu Abdissalam.
Syaikhul Islam Sulthanul-Ulama' al-Imam al-`Izz Ibnu Abdissalam juga menjelaskan tentang masalah bid’ah, beliau berkata: “Di sana ada beberapa macam perkara baru (Bid‘ah). Pertama, perkara yang tidak dilakukan dalam Islam namun syari‘at menyatakannya sebagai hal terpuji, bahkan ada yang dinyatakan wajib. Kedua, perkara yang tidak dilakukan dalam Islam namun syari‘at membenci dan mengharamkannya. Ketiga, perkara yang tidak dilakukan dalam Islam dan syari‘at membolehkannya.”[11]
Dalam kesempatan lain beliau menyebutkan bahwa Bid‘ah itu ada lima macam, sama dengan lima hukum yang simpulkan oleh ulama fiqih untuk hal perbuatan manusi, yaitu wajib, haram, sunnah (mandub), kakruh dan mubah (boleh).[12]

Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi berkata: Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.”
Beliau melanjutkan: “Para pemuka umat dan Imam kaum muslimin yang ilmunya sudah diakui, seperti Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku beliau, al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi pada perkara-perkara wajib (wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat), makruh (makruhat) dan boleh (mubahat). Seharusnya, cara menilai suatu Bid‘ah itu dengan melihat kaidah syari’at (qawa‘id syari‘ah). Jika ia masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk hal yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia disukai, apabila ia termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.”[13]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani
Beliau berkata: “Kalimat ‘bid‘ah’ itu berarti sesuatu yang dibuat tanpa ada contoh sebelumnya. Lalu kalimat itu digunakan dalam istilah Syari‘at sebagai lawan dari Sunnah, dan karena  itulah iapun menjadi tercela. Namun, jika diteliti (ternyata tidak mesti seperti itu), sekiranya hal baru tersebut termasuk hal yang digalakkan oleh Syari‘at maka ia adalah Bid‘ah yang baik (Bid‘ah Hasanah), jika ia termasuk hal yang dibenci maka ia adalah Bid‘ah buruk (mustaqbahah). Selain dari itu adalah Bid’ah yang boleh (mubah). Bid’ah juga bisa dibagi menjadi lima kategori.”[14]

Al-Imam asy-Syaukani
Beliau  menyatakan -di dalam kitabnya yang terkenal, Nail al-Authar- bahwa Bid‘ah terbagi menjadi “baik” dan “buruk”. Menurut beliau, pandangan seperti inilah yang paling kukuh dan kuat.[15]


Al-Imam al-Hafizh Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi
Ketika mengomentara pendapat al-Imam asy-Syafi’i, al-Qurthubi berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan asy-Syafi’i tentang pembagian bid’ah), saya katakan bahwa makna Hadits Nabi SAW yang berbunyi ‘Seburuk-buruk perkara adalah hal yg baru, semua hal yang baru adalah Bid’ah, dan semua Bid’ah adalah sesat’ bermaksud hal-hal yang tidak sejalan dengan al-Qur’an, Sunnah Rasul SAW dan perbuatan Sahabat Rasul. Sesungguhnya hal ini telah diperjelas oleh Hadits lainnya, yaitu “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.”[16] Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai terbaginya Bid’ah pada Bid’ah yang baik dan Bid’ah yang sesat”.[17]

Al-Imam as-Suyuthi
Al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi berkata: “Hadits ‘Bid’ah Dhalalah’ ini bermakna ‘Aammun makhsush’ (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), sama dengan firman Allah:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا

.. yang menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya.. (QS. Al-Ahqaf : 25), padahal tidak semua dihancurkannya. Sama juga dengan ayat:
وَلكَنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّيْ لأَمْلَئَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

“Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia semuanya.” (QS As-Sajdah : 13) (padahal kenyataannya tidak semua manusia masuk neraka. Ayat ini bukan bermakna semua jin dan manusia, melainkan hanya yang musyrik dan zhaim dari mereka). Sama juga dengan Hadits: “Aku dan hari Qiamat bagaikan kedua jari ini”, Padahal Qiamat masih ribuan tahun lagi.[18]

Pendapat Jumhur (Kebanyakan) Ulama’ Madzhab
Ulama dari empat madzhab telah sepakat dengan klasifikasi Bid’ah terbagi pada lima hukum seperti yang dikemukakan oleh al-Imam al-Izz bin Abdissalam, seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya. Berikut diantara Ulama dari empat madzhab yang berpendapat demikian:
1.      Dari madzhab Hanafi: Al-Kirmani, Ibnu Abidin, at-Turkmani, al-`Aini dan at-Tahanawi.[19]
2.      Dari madzhab Maliki: at-Turtusyi, Ibnul-Hajj, al-Qarafi dan az-Zurqani. Tidak termasuk asy-Syathibi.[20] Pendapat asy-Syathibi inilah yang kemudian diangkat oleh Rasyid Ridha, Salim Hilali dan Muhammad Abdussalam Khadir asy-Syuqairi (murid Rasyid Ridha). Asy-Syuqairi menulis buku berjudul as-Sunan wal-Mubtada`at al-Muta`alliqah bil-Adzkar wash-Shalawat yang di penuhi dengan berbagai riwayat tidak shahih.
3.      Dari madzhab asy-Syafi’i: Semua berpendapat sama.[21]
4.      Dari madzab Hanbali: Generasi salaf telah sepakat dengan pendapat asy-Syafi’i. Kemudian dari kalangan muta’akhirin mencoba mengingkarinya dengan mengatakan bahwa pembagian syafi’i dan Izzudin terhadap bid’ah adalah dari segi bahasa.[22] Dan pembagian bid’ah menurut bahasa adalah pendekatan yang sering dibawakan oleh golongan anti Bid’ah Hasanah untuk mendukung pendapat mereka. Mereka tetap bersikukuh bahwa semua “Bid’ah” (termasuk Bid’ah Hasanah) adalah sesat, meskipun pendapat itu bertentangan dengan realitas dan pendapat jumhur ulama.

Pendapat asy-Syafi’i juga didukung oleh al-Imam as-Suyuthi, sebagaimana yang beliau tulis dalam risalah yang berjudul “Husnul Maqashid fi ‘Amalil-Maulid” dan “Al-Mashabih fi Shalatit-Tarawih. Didukung pula oleh al-Imam Az-Zarqani seperti yang beliau tulis dalam kitab “Syarah al-Muwattha’, Didukung pula oleh al-Imam Ali al-Qari seperti yang beliau tulis dalam kitab “Syarhul-Misykah. Didukung pula oleh al-Qusthallani seperti yang beliau tulis dalam kitab “Irsyadus-Sari Syarah Shahih al-Bukhari”. Dan masih banyak lagi ulama yang lain.
Demikianlah pendapat para imam besar yang telah terekam dalam berbagai kitab turats (klasik). Masih banyak lagi yang tidak sempat terekam pendapatnya, karena memang ketika itu penulisan kitab tidak semudah sekarang. Setidaknya, ketika mereka diam berarti mereka setuju, karena kalau memang mereka menganggap pendapat asy-Syafi’i sebagai kesesatan, maka tidaklah mungkin mereka diam saja tanpa menulis buku kritikan. Pendapat asy-Syafi’i diterima oleh ulama di zaman beliau hingga ulama berikutnya. Barulah pada abad akhir ini muncul segolongan ulama yang menyalahkan pendapat para Imam besar hujatul-Islam tersebut, bahkan berani menganggap pendapat mereka sesat.
 Saudaraku, Ketika kita sama-sama berguru dan berpendapat menurut guru, maka bersyukurlah karena kita berguru pada Imam-imam besar seperti asy-Syafi’i sang perintis madzhab, an-Nawawi sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih Muslim, al-Ghazali sang Hujjah penulis Ihya Ulumiddin, al-Baihaqi sang ahli dan perawi Hadits, as-Suyuthi sang pakar berbagai disipliln Ilmu Islam, al-Asqalani sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih al-Bukhari, al-Qurthubi sang pakar dan penulis kitab Tafsir, al-Qusthallani sang ahli Hadits penuli Syarah Shahih al-Bukhari dan sebagainya.
Kalau guru-guru kita itu dianggap sesat. Lalu siapa ulama yang bisa dibanggakan oleh umat Islam. Mereka yang dianggap sesat itu telah mengharumkan nama Islam dengan pemikiran dan karya-karya mereka. Coba kita tanyakan pada hati kita, seandainya kita harus memilih, siapa yang sebaiknya tidak pernah hidup di dunia ini, apakah asy-Syafi’i dan sebagainya atau ulama abad ini yang menganggap asy-Syafi’i sesat? Apa yang kita miliki kalau kita mencoret nama-nama mereka dan membuang karya-karya mereka dari rak buku kita. Apa yang tersisa dari khazanah keilmuan Islam kalau kita membuang kitab-kitab asy-Syafi’i, Syarah Shahih Muslim (an-Nawawi) kitab Ihya’ Ulumiddin, Fathul Bari, Irsyadussari, Syarah Muwattha’ (az-Zarqani), Syarhul-Misykah dan sebagainya. Kalau mereka dianggap sesat dan karya-karya mereka dicekal, maka yang tersisa dari kekayaan umat Islam adalah ulama pencaci maki dan buku-buku yang dipenuhi dengan mengupat ulama salaf.[23]
Syekh Abdurrahman bin Mahdi berkata: "Seorang ulama tidaklah bisa disebut Imam (rujukan) dalam sebuah disiplin ilmu, apabila ia masih mengikuti pendapat yang ganjil (menyalahi pendapat yang lebih masyhur di kalangan Imam-imam besar)."


[1]       Abu Nu’aim dalam “Hilyat al-Awliya'”, IX : 121, Abu Shama dalam “al-Ba`its `ala Inkar al-Bida` wal-Hawadits”, hal. 93, Ibn Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam”, hal. 267, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253, al-Turtusyi dalam “al-Hawadits wal-Bida`, hal. 158-159, dan asy-Syaukani dalam “al-Qaul al-Mufid fi Adillat al-Ijtihad wat-Taqlid, hal. 36. Riwayat dari Saidina `Umar disebut oleh Imam Malik dalam al-Muwattha' dan al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari
[2]       Diriwayatkan dari al-Rabi` oleh al-Bayhaqi didalam “al-Madkhal” dan “Manaqib asy-Syafi`i, I : 469 dengan sanad shahih dan dishahihkan juga oleh Ibnu Taimiyyah dalam “Dar'u Ta`arud al-`Aqli wan-Naqli, hal. 171 dan melalui al-Baihaqi oleh Ibn `Asakir dalam “Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam “Siyar”, VIII : 408, Ibnu Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam, II : 52-53, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253.
[3]       Al-Haitami, “at-Tabyin fi Syarh al-Arba`in”, hal. 32, Ibnul-`Arabi, “`Aridat al-Ahwadzi, X : 147.
[4]       Al-Baihaqi, “Manaqib asy-Shafi`i”, I : 469.
[5]       Ibnul-`Arabi, “`Arid at al-Ahwadzi”, X : 146-147.
[6]       Al-Ghazzali, “Ihya' `Ulumiddin, I : 276.
[7]       Ibnu Hazm, “al-Ihkam fi Usul al-Ahkam”, I : 47.
[8]     Diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah al-Bajali oleh Imam Muslim, al-Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi. Juga diriwayatkan dengan kalimat yang mirip dari Abu Hurairah oleh Ibnu Majah dan Ahmad, dari Abu Juhaifah oleh Ibn Majah dan dari Hudzaifah oleh Imam Ahmad.
[9]       Diriwayatkan dari al-`Irbad bin Sariyah oleh at-Tirmidzi (Hasan Shahih), Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi, Ibn Hibban, I : 178-179, al-Hakim menyatakan shahih, I : 95-97, adz-Dzahabi juga menyatakan Shahih dalam "al-Madkhal ila ash-Sahih”, hal. 80-81, al-Ajurri dalam “asy-Syari`ah”, hal. 54-55, Ibnu Abi `Asim dalam “as-Sunnah”, hal. 29, at-Thahhawi dalam “Musykil al-atsar”, II : 69, Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam “as-Sunnah”, hal. 26-27, al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnadnya, I : 197-198, ar-Ruyani dalam Musnadnya, I : 439, Abu Nu`aim dalam “Hilyat al-Awliya'”, V : 220-221, X : 115, at-Thabarani dalam “Musnad asy-Syamiyyin”, I : 254, I : 402, I : 446, II : 197, II : 298 dan “al-Kabir”, XVIII : 245-257, al-Baihaqi dalam “as-Sunan al-Kubra, X : 114, “al-Madkhal”, hal. 115-116, al-I`tiqad, hal. 229 dan “Syu`ab al-Iman, VI : 67, al-Baghawi menyatakan Hasan dalam “Syarh as-Sunnah, I : 205, Ibnul-Atsir dalam “Jami` al-Usul”, I : 187, I : 279, Ibnu `Asakir dalam “al-Arba`in al-Buldaniyyah”, hal. 121, Ibnu Abdil-Barr menyatakan Shahih dalam “at-Tamhid, XXI : 278-279 dan “Jami` Bayan al-`Ilm”, II : 924 dan lain-lain.
[10]    Ibnul-Atsir, “an-Nihayah”, I : 79.
[11]     Ibnu Abdisalam, “al-Fatawa al-Mushiliyyah”, hal. 129.
[12]     Ibnu Abdisalam, al-Qawa`id al-Kubra, II : 337-339, an-Nawawi dalam “al-Adzkar”, hal. 237 dan “Tahdzib al-Asma' wal-Lughat”, III : 20-22, asy-Syathibi dalam “al-I`tisham”, I : 188, al-Kirmani dalam “al-Kawakib ad-Darari”, IX : 54, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253-254, as-Suyuthi dalam “Mukaddimah Husnul-Maqsid” dan dalam “al-Hawi lil-Fatawi, al-Haytami dalam Fatawa Haditsiyah, hal. 150, Ibnu Abidin dalam “Radd al-Mukhtar”, I : 376 dan lain-lain.
[13]     An-Nawawi, “Tahdzib al-Asma' wal-Lughat”, III : 20-22.
[14]     Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, V : 156-157.
[15]     Asy-Syaukani, Nailul-Authar, IV : 60.
[16]     Shahih Muslim, Hadits no. 1017
[17]     Tafsir al-Imam al-Qurthubi, II : 87.
[18]     Syarh Assuyuthi, III : 189.
[19]     Al-Kirmani, “al-Kawakib ad-Darari Syarh Shahih al-Bukhari, IX : 54, Ibnu Abidin, “al-Hasyiyah”, I : 376, I : 560, at-Turkmani, “al-Luma` fil-Hawadits wal-Bida`, I : 37, at-Tahanawi, “Kassyaf Istilahat al-Funun, I : 133-135, al-Himyari, “al-Bid`ah al-Hasanah” (hal.152-153).
[20]     At-Turtushi, “al-Hawadits wal-Bida`, hal. 15, 158-159, Ibnul-Hajj, “Madkhal asy-Syar` asy-Syarif, II : 115, al-Qarafi, “al-Furuq”, IV : 219, asy-Syathibi, “al-I`tisham, I : 188-191, az-Zurqani, “Syarh al-Muwattha', I : 238.
[21]     Abu Syama, “al-Ba`its `ala Inkar al-Bida` wa al-Hawadits”, hal. 93.
[22]     Ibnu Rajab, “al-Jami` fil-`Ulum wal-Hikam”, II : 50-53.
[23]     KH. Ali Badri Azmatkhan, klarifikasi masalah khilafiyah.

0 comments

Post a Comment