بسم الله الرحمن الرحيم
Banyak Hadits yang meriwayatkan bahwa
para sahabat Nabi SAW melakukan hal baru dalam hal ubudiyah, muamalah dan
sebagainya, dan tentunya tetap berlandaskan dalil syari’at serta tidak
menyalahi pokok-pokoknya, sebagaimana itu adalah landasan dalam memandang
bid’ah hasanah.J bid'ah jhasanah hakikatnya sunnah juga, yaitu mengacu kepada
dalil yang umum atau mengacu ketetapan kebolehan muamalah sampai
ada dalil yang melarangnya. Jika hendak dipaksakan pendapat semua bid'ah adalah
sesat, diletakkan dimanakah perbuatan-perbuatan sahabat tersebut ?
Lalu bagaimana Rasulullah SAW menanggapi masalah hal tersebut? Perhatikanlah
riwayat-riwayat berikut:
1.
Hadits riwayat Imam al-Bukhari dalam shahihnya[1]
yang menerangkan bahwa Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi berkata: “Pada suatu hari
aku shalat dibelakang Rasulullah SAW Ketika berdiri (I’tidal) sesudah
ruku’, beliau SAW mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang
yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu
hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur
sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah
shalat Rasulullah SAW. bertanya: ‘Siapa tadi yang berdo’a?’.
Orang
yang bersangkutan menjawab: ‘saya, ya Rasulallah.’ Rasulullah SAW. berkata : ‘Aku
melihat lebih dari 30 malaikatberebutingin mencatat do’a itu lebih dulu’.“
dalah
dalil bolehnya membaca suatu dzikir -dalam shalat- yang tidak dicontohkan oleh
Nabi SAW (ghair ma’tsur), asalkan dzikir tersebut tidak bertolak
belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur (dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW).
Disamping itu, Hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara (bagi
makmum) selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya.”.
.
Ibnu Hajar juga
berkata bahwa Hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a
atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya
tidak berlawanan dengan kebiasaan yang telah ditentukan (diwajibkan). Hadits
ini juga memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu shalat selama tidak
menimbulkan keberisikan.
.
Lihat
pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq al-Bid’ah untuk mengetahui
makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimari untuk
mengetahui makna Al-bid’ah.
2. Hadits Shahih riwayat al-Bukhari mengenai
perbuatan Bilal dan Khabbab, dimana mereka shalat dua rakaat sebagai pernyataan
sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh.[3]
. Dengan Hadits ini kita mengetahui bahwa Bilal dan
Khabbab RA telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya
sendiri-sendiri. Rasulullah SAW tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula
melakukannya, Rasulullah SAW hanya secara umum menganjurkan supaya kaum
muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau tidak melarang bahkan
membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
3. Hadits riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. bertanya pada Bilal
RA seusai shalat Shubuh: “Hai Bilal, katakanlah padaku apa amal yang telah
engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal
menjawab: “Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu
(yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan
shalat “.[4]
. Dalam Hadits lain yang diketengahkan oleh at-Tirmidzi dan disebutnya
sebagai Hadits hasan dan shahih, demikian juga dishahihkan oleh al-Hakim dan
adz-Dzahabi, yaitu bahwa Rasulullah SAW meridhai prakarsa Bilal yang tidak
pernah meninggalkan shalat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat
wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan shalat dua raka’at demi
karena Allah SWT. al-Hafizh Ibnu Hajar kemudian menjelaskan: Dari Hadits
tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu
ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulullah
SAW.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan
oleh beliau.[5]
4. Hadits riwayat
Anas bin Malik RA: Seseorang dengan terengah-engah masuk kedalam barisan (shaf)
shalat. Kemudian dia mengatakan (dalam shalatnya) Alhamdulillah hamdan
katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan
pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulullah SAW. selesai
dari shalatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara kalian yang mengatakan
beberapa kalimat?’ Orang-orang diam. Lalu beliau SAW bertanya lagi: ‘Siapakah
diantara kalian yang mengatakannya? Sesungguhnya dia tidak mengatakan
sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil
terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulullah SAW.
bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat berebut memburunya untuk
mengangkatkannya (membawa amalan itu kepada Allah).[6]
5. Dalam Kitabut-Tauhid, al-Bukhari mengetengahkan sebuah Hadits dari
‘Aisyah RA yang mengatakan: “Pada suatu saat Rasulullah SAW menugaskan
seseorang untuk memimpin suatu rombongan ke suatu daerah untuk menangkal
serangan kaum musyrikin. Tiap mengimami shalat berjama’ah, setelah surah
al-Fatihah, ia selalu membaca surah Al-Ikhlas. Setelah mereka pulang ke Madinah,
seorang dari mereka memberitahukan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau SAW
menjawab: ‘Tanyakanlah padanya apa yang dimaksud’. Setelah ditanya maka
Sahabat pemimpin itupun menjelaskan: “Karena surah sl-Ikhlas itu menerangkan
sifat ar-Rahman dan aku suka sekali membacanya” Ketika jawaban itu
disampaikan kepada Rasulullah SAW maka beliau berkata: “Sampaikan kepadanya
bahwa Allah menyukainya.”
.
Apa yang dilakukan oleh orang tadi (mengulang surah
al-Ikhlash dalam tiap shalat) tidak pernah dilakukan dan diperintahkan oleh
Rasulullah SAW, itu hanya inisiatif orang itu sendiri. Namun Rasulullah SAW
tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya
dengan ucapan “Allah menyukainya”.
6.
Riwayat al-Bukhari dalam Kitabus Sholah (Hadits serupa dengan yang
diatas) dari Anas bin Malik menceriterakan bahwa ada beberapa orang shalat di
masjid Quba. Setelah membaca surah al-Fatihah dan satu surah yang lain, sang
imam menambah dengan surah al-Ikhlas. Hal itu dilakukan setiap rakaat. Setelah
shalat, para makmum menegurnya: "Kenapa Anda setelah membaca Fatihah dan
surah lainnya selalu menambah dengan surah al-Ikhlas? Anda, kan, bisa memilih
surah yang lain dan meninggalkan surah al-Ikhlas atau membaca surah al-Ikhlas
tanpa membaca surah yang lain.” Imam tersebut menjawab: “Tidak, saya tidak mau
meninggalkan surah al-Ikhlas. Kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian
untuk seterusnya, kalau tidak maka saya tidak mau mengimami kalian.” Karena
mereka tidak melihat orang lain yang lebih baik dari imam tersebut, mereka
tidak mau diimami oleh orang lain. Setibanya di Madinah mereka menemui
Rasulullah SAW dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Rasulullahpun
bertama pada imam tersebut: “Hai fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu
tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surah
al-Ikhlas pada setiap rakaat?” Imam tersebut menjawab: “Ya Rasulullah, aku
sangat mencintai Surah itu.” Rasulullah SAW berkata: “Kecintaanmu kepada
Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga.”
Mengenai makna
Hadits ini, al-Hafizh Ubnu Hajar -dalam kitabnya Al-Fath- mengatakan:
“Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena
terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulullah SAW
menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini
menunjukkan bahwa beliau SAW
meridhainya.”
.
Al-Imam
Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna Hadits tersebut dengan berkata: “Niat
atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan.” Selanjutnya ia
berkata: “Seandainya orang itu menjawab dengan alasan karena tidak hafal surah
yang lain, mungkin Rasulullah SAW akan menyuruhnya untuk menghafal surah-surah
selain yang selalu dibaca berulang-ulang itu. Akan tetapi karena ia
mengemukakan alasan “karena sangat mencintai surah itu (al-Ikhlas),
Rasulullahpun membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan
yang sehat.” Lebih jauh al-Imam Nashiruddin mengatakan: “Hadits tersebut juga
menunjukkan bahwa orang boleh membaca berulang-ulang surah atau ayat-ayat
khusus dalam al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan
bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi al-Qur’an atau
meninggalkannya.”
7.
Hadits riwayat Muslim, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ
فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَ وِزْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
“Barang siapa melakukan suatu ‘sunnah’
yang baik didalam Islam, maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang
yang ikut mengamalkan ‘sunnah’nya tersebut, tanpa berkurang sedikitpun dari
pahala mereka yang ikut mengamalkannya. Barang siapa yang melakukan satu
‘sunnah’ yang buruk, maka ia mendapat dosa perbuatannya dan dosa orang yang
ikut mengamalkan ‘sunnah’nya tersebut, tanpa berkurang sedikitpun dari dosa
mereka yang ikut mengamalkannya.”
Dalam bahasa Arab,
kalimat “Sanna” berarti memulai suatu bentuk perbuatan. Dari itu, tidak
seorangpun dari ulama salaf yang menyimpulkan “Sunnah Hasanah” dalam Hadits
diatas dengan “Sunnah Tsabitah” (bentuk amalan yang dicontohkan Nabi) dan
“Sunnah Sayyi’ah” dengan “Sunnah Ghairu Tsabitah” (bentuk amalan yang tidak
dicontohkan Nabi). KH. Ali Badri Azmatkhan berkata: “Kalau bermaksud
menghidupkan Sunnah Tsabitah yang telah lama ditinggal orang, maka ungkapannya
tidak bisa dengan kalimat “Sanna Sunnatan”, melainkan dengan kalimat “Ahya
Sunnatan”. Apabila kita mengartikan “Sunnah Hasanah” dalam Hadits diatas dengan
“Sunnah Tsabitah” dan “Sunnah Sayyi’ah” dengan “Sunnah Ghairu Tsabitah”, maka
kita telah melakukan ‘pemaksaan’ makna terhadap konteks sebuah Hadits, dan ini
adalah ‘kejahatan’ ilmiyah.”[7]
8. Riwayat al-Bukhari dalam sebuah Hadits
tentang Fadha’il (keutamaan) Surah al-Ikhlas, dari Sa’id al-Khudri RA
bahwa beliau mendengar seseorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad.
Keesokan harinya belia (Sa’id Al-Khudri) memberitahukan hal itu kepada
Rasulullah SAW, sedangkan orang yang dilaporkan masih terus mengulang-ulang
bacaannya. Menanggapi laporan Sahabat Sa’id, Rasulullah SAW berkata: “Demi
Allah Yang hidupku ada di tangan-Nya, itu sama dengan membaca sepertiga
Qur’an.”
Al-Imam al-Hafizh mengatakan didalam Fathul-Bari, bahwa orang yang
disebut dalam Hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id yang mengatakan bahwa
sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul huwallahu Ahad,
tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu
Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man.
Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id
mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus
membaca Qul huwAllahu ahad’.
9. Ashabussunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya
meriwayatkan sebuah Hadits dari ayah Abu Buraidah yang menceritakan
kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulullah
SAW masuk kedalam masjid Nabawi. Didalamnya terdapat seseorang sedang
menunaikan shalat sambil berdo’a: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam
yalid’ wa lam yuulad’ wa lam yakullahu kufuwan ahad.” Mendengar do’a itu
Rasulullah SAW. bersabda; “Demi Allah Yang hidupku ada di tangan-Nya, dia mohon
kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi
dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab”.
. Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat
tanggapan sangat menggembirakan dari Rasulullah SAW itu disusun atas inisiatif
orang yang berdo’a itu sendiri, bukan diajarkan atau diperintahkan oleh
Rasulullah SAW kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan ketentuan
syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau SAW menanggapinya dengan baik,
membenarkan dan meridhoinya.
10. Riwayat Muslim dan at-Tirmidzi yang juga dikutip oleh as-Shan’ani
‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf. Hadits dari Ibnu Umar, beliau berkata:
“Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi SAW, diantara kami ada yang
mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa
SubhaanAllahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai shalat, Rasulullah SAW
bertanya: ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi?’ Orang itupun
menyahut: ‘Wahai Rasulullah, Akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” Mak
Rasulullah SAW berkata: ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi.
Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka karenanya’. Ibnu Umar berkata: Sejak
aku mendengar ucapan itu dari Nabi SAW, aku tidak pernah meninggalkan untuk
mengucapkan kalimat-kalimat tadi.”
Demikianlah bukti
yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulullah SAW
terhadap prakarsa-prakarsa baru para ahabat beliau, berupa doa-doa dan bacaan
surah di dalam shalat, walaupun beliau SAW sendiri tidak pernah melakukannya
atau memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena
anjuran dari Rasulullah SAW tapi karena mendengar jawaban beliau SAW mengenai
bacaan itu. Dari itu, sangatlah mengherankan ketika orang yang menganggap doa
Qunut shalat Shubuh sebagai Bid’ah, padahal doa tersebut berasal dari Hadits
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, ar-Turmudzi, an-Nasa’i dan
lain-laina dari al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA, juga oleh al-Baihaqi dari
Ibnu Abbas. Waktu dan posisi berdiri untuk doa Qunut shalat Shubuh juga berdasarkan
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Awam bin Hamzah,
Abdullah bin Ma’qil dan al-Barra’, riwayat itu dishahihkan oleh sekolompok
Huffazh, diantaranya al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi,
al-Hakim Abu Abdillah, al-Imam Muslim, al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam al-Baihaqi
dan ad-Daraquthni dan lain lain. Bagaimana mungkin doa Qunut yang berasal dari
Nabi SAW tersebut dikatakan Bid’ah, sedangkan doa tambahan dalam shalat atas
inisiatif sendiri saja tidak dipersalahkan oleh Nabi SAW, bahkan malah diridhoi
dan diberi kabar gembira bagi yang menambahnya?
11. Riwayat
al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah (pengobatan dengan
berdo’a atau membaca ayat-ayat al-Qur’an) yang dilakukan oleh rombongan sahabat
Nabi SAW ketika singgah di pemukiman sebuah suku Arab Badui. Ceritanya, karena
sangat lapar, mereka minta pada penduduk di pemukiman itu agar menjamu mereka.
Tapi permintaan itu ditolak. Pada saat itu kepala suku tersengat binatang
berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang yang bisa
mengobatinya, akhirnya mereka mendekati rombongan sahabat Nabi itu seraya
berkata: “Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang
tersengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi
dengan syarat diberi makanan. Setelah persyaratan itu disetujui maka sahabat
Nabi itu mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika
itu juga kepala suku sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka diberikanlah
beberapa ekor kambing kepada para Sahabat sesuai dengan perjanjian. Para
Sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulullah SAW.
Setiba dihadapan Rasulullah SAW, mereka menceritakan apa yang telah mereka
lakukan terhadap kepala suku itu. Lalu Rasulullah SAW berkata: ‘Bagaimana
engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan?” Rasulullah SAW
membenarkan mereka dan ikut makan sebagian dari daging kambing tersebut.”
Masih banyak lagi
Hadits yang meriwayatkan tentang perbuatan para Sahabat atas dasar inisiatif dan
ijtihad sendiri. Semuanya diridhoi oleh Rasulullah SAW dan beliau memberi
kabar gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut tidak diperintah atau
dianjurkan oleh Rasulullah SAW sebelum dan sesudahnya. Karena semua itu
bertujuan baik dan tidak melanggar syariát maka Rasulullah SAW meridhoi dan
memberi mereka kabar gembira.
Perbuatan-perbuatan
tersebut, dalam pandangan syari’at, dinamakan Sunnah Mustanbathah
(sunnah yang ditetapkan berdasarkan hasil Ijtihad). Dengan demikian,
Hadits-hadits diatas adalah dalil bahwa setiap inisiatif baik dalam
ibadah, selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at,
adalah hal baik yang disukai (mustahab), apalagi inisiatif itu bermanfaat bagi
kaum muslimin, maka tentu malah dianjurkan.
Kalau kita
perhatikan, Hadits-hadits diatas banyak yang berkaitan dengan masalah
shalat yang merupakan ibadah pokok dalam Islam. Walaupun Rasulullah SAW telah
bersabda:
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي
أصَلِي (رواه البخاري)
‘Hendaklah kamu shalat sebagaimana kalian melihat aku
Shalat’ (HR al-Bukhari),
kenyataannya
beliau membenarkan dan meridhoi tambahan-tambahan doa dan bacaan surah atas
inisiatif para
Sahabat. Itu berarti beliau memandang tambahan doa dan
bacaan surah itu tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh
syari’at. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti akan ditegur dan
dilarang oleh Rasulullah SAW.
Kalau dipahami dari segi bahasa, Bid’ah
adalah apa saja yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Akan tetapi kenyataannya Rasulullah SAW membenarkan dan meridhoi banyak amalan
atas inisiatif para sahabat tanpa diperintah dicontohkan oleh beliau. Maka
kenyataan ini menyimpulkan bahwa Bid’ah yang sesat itu adalah Bid’ah dalam
tanda kutip, yaitu Bid’ah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits, bukan
semua hal baru yang tidak dicontohkan oleh Rasululah SAW. Selebihnya, selama
niatnya baik dan caranya tidak melanggar, siapapun akan mendapat jawaban dari
Hadits..
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنِّيَّاتِ وَاِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
‘Sesungguhnya
segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat
sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya) karena
Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya
(berhasil)’. (HR. al-Bukhari).
Begitulah pemikiran
ulama salaf. Tetapi fitnah adalah sunnatullah. Nampaknya dalam hidup ini memang
harus ada fitnah sebagai ujian, untuk memastikan bahwa ada orang sabar yang
bijak dan ada pula orang ceroboh yang berpikiran sempit. Dari itu, tidak
heran kalau ada saja orang yang berani menjelek-jelekkan ulama salaf dengan
berkata bahwa ulama salaf yang membagi bid’ah menjadi beberapa jenis itu telah
membuka lebar pintu-pintu “Bid’ah sesat” bagi kaum muslimin. Na’udzu billah,
kita berlindung kepada Allah dari tindakan ceroboh dan tidak hormat pada ulama
salaf.
0 comments
Post a Comment