Hukum Menggugurkan Kandungan Hasil Pemerkosaan

بسم الله الرحمن الرحيم

Setiap manusia haruslah kita hormati hak hidupnya, tak terkecuali janin di dalam rahim, sekalipun ia berasal dari hubungan haram seperti perzinaan. Islam sangat melindungi jiwa, dan itu masuk dalam salah satu dari 5 tujuan prinsipil Maqashid as-Syariah (Tujuan-tujuan Syariah). Kelima tujuan prinsipil itu adalah:
1. Melindungi Agama (Hifdzu Dien)
2. Melindungi Jiwa (Hifdzu Nafs)
3. Melindungi Akal (Hifdzu ‘Aql)
4. Melindungi Kehormatan dan Nasab (Hifz Nasl)
5. Melindungi Harta Benda (Hifdzu Maal)

Rasulullah SAW pernah memerintahkan kepada wanita al-Ghamidi yang mengaku berzina dan wajib dirajam, agar ia dibiarkan hidup hingga ia melahirkan bayinya dan menyusuinya. Kemudian setelah tiba masa menyapih si bayi, barulah wanita itu diperintahkan oleh Rasulullah untuk menjalankan hukuman rajam atas dosa yang telah dilakukannya. Kisah itu terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Dalam kisah di atas, kita tidak sedang membahas tentang eksekusi hukuman rajam atas wanita itu, karena kasusnya adalah zina karena suka rela (zina bir-ridha). Sedangkan kasus yang dialami sahabat Anda berbeda, karena yang terjadi padanya adalah zina paksa (zina bil-jabr), atau pemerkosaan.

Yang kita bahas adalah betapa Islam sangat melindungi jiwa-jiwa yang tak berdosa. Bahkan jiwa milik janin yang berada dalam rahim wanita yang berbuat zina. Karena sejatinya, janin tak menanggung dan mewarisi dosa sedikitpun dari perbuatan orang tuanya.

Hukum Aborsi

Sebagian ulama memperketat masalah aborsi dan melarangnya meskipun janin masih berusia satu hari. Bahkan ada juga yang mengharamkan tindakan orang yang mencegah terjadinya kehamilan karena disengaja, baik pencegahan itu dilakukan oleh suami maupun istri.

Mereka berdalil dengan sebagian hadits yang menyebut ‘azal (mengeluaran penis dari vagina saat terjadi ejakulasi) sebagai pembunuhan secara sembunyi-sembunyi. Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa aborsi mutlak haram.

Namun ada juga ulama yang menghalalkan aborsi secara mutlak. Dr. Abdurrahman Al Baghdadi berpendapat bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh atau nyawa ditiupkan. (Emansipasi Adakah Dalam Islam hal. 127-128)

Hukum Aborsi SETELAH Ditiupkannya Ruh Pada Janin

Para ulama sepakat akan keharaman aborsi yang dilakukan setelah ditiupkannya ruh. Kapan ditiupkannya ruh pada janin? Sebagian ulama berpendapat berbeda, yaitu: setelah 4 bulan masa kehamilan, atau setelah usia kehamilan itu berusia 120 hari, ada juga yang berpendapat setelah janin berusia 40-42 hari. Hal itu berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

i) Firman Allah SWT : 
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-Isra`: 31).
 
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (Qs. al-Isra`: 33).
 
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (Qs. at-Takwiir [81]: 8-9)

ii) Hadits:
“Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi).

Hukum Aborsi SEBELUM Ditiupkannya Ruh

Akan tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh pada janin. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.

a. Pendapat yang Mengharamkan

Sedangkan Adapun pendapat yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain:
i) Ibnu Hajar (wafat 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah,

ii) Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin.

iii) Mahmud Syaltut (mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir). Beliau berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya.

Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh (M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah, hal. 57)

b. Pendapat yang Membolehkan

Sebagian fuqoha’ ada yang membolehkan aborsi apabila usia janin belum berusia 120 hari. Pendapat ini sesuai dengan riwayat yang lebih masyhur bahwa pada saat itu telah ditiupkan ruh ke dalam tubuh janin.

Muhammad Ramli (w. 1596 M) membolehkan aborsi sebelum ditiupkannya ruh dengan alasan belum adanya makhluk bernyawa. Meskipun ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.

Fatwa Yusuf al-Qaradhawi

Seorang ulama kontemporer terkemuka, Dr. Yusuf al-Qaradhawi pernah mengeluarkan fatwa terhadap kasus muslimah yang diperkosa orang-orang kafir saat negerinya dijajah kaum kuffar, seperti yang terjadi di Palestina dan Bosnia. Fatwa itu berbunyi sebagai berikut:

“…Setiap kali udzur itu makin jelas, maka semakin jelas pulalah rukhshah itu. Selama kehamilan itu masih belum berusia 40 hari, maka makin dekat dengan rukhshah.

Tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan yang dilakukan oleh musuh kafir dan dzalim terhadap wanita muslimah merupakan udzur yang sangat kuat bagi wanita muslimah yang bersangkutan dan juga keluarganya. Karena sudah pasti dia akan membenci janin itu dan ingin mencari jalan keluar darinya. Hal itu tentu saja merupakan rukhshah yang difatwakan karena darurat yang telah disesuaikan kadarnya…..

Oleh karena itu, rukhshah yang memperbolehkan aborsi terikat dengan keadaan udzur yang dibenarkan oleh syariat Islam yang kadarnya dketahui oleh dokter dan para cendekiawan. Selain dalam keadaan itu muslimah dilarang melakukan aborsi….” (Dr. Amru Karim Sa’dawi: Wanita dalam Fiqih al-Qaradhawi)

Kesimpulan

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal berikut: Pertama, menurut keterangan Anda diketahui bahwa usia kehamilan sahabat Anda belum berusia 4 bulan atau 120 hari, dimana nyawa belum ditiupkan kepada janin yang dikandungnya.

Kedua, bahwa kehamilan itu terjadi karena paksaan dan diluar keinginan yang bersangkutan.

Ketiga, peristiwa itu membuat yang bersangkutan kehilangan kepercayaan diri, gangguan mental, dan depresi yang tidak menutup kemungkinan bisa berdampak buruk pada kesehatan fisiknya. Jika demikian, dalam masalah ini bukan hanya jiwa sang janin yang dipertaruhkan, akan tetapi jiwa sahabat Anda juga.

Keempat, sebagian ulama telah membolehkan rukhshah (keringanan) kepada seseorang yang memiliki udzur (halangan dan alasan) untuk melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Dan aborsi (yang seharusnya tidak dilakukan) dapat dilakukan dengan adanya beberapa udzur kuat.

Melihat adanya udzur kuat yang ada dalam diri sahabat Anda, maka sebagian ulama memperbolehkan untuk melakukan aborsi. Karena jika tidak, maka madharat lebih besar dapat terjadi, meski itu tidak mutlak.

Penutup

Namun menurut hemat penulis, sebelum mengambil keputusan besar ada baiknya sahabat Anda dan keluarganya mempertimbangkan hal-hal lain yang bisa mendatangkan dampak positif tanpa mengorbankan jiwa sahabat Anda ataupun janinnya.

Pria yang telah menanam janin di rahim Aisyah dapat dimintai pertanggungjawabannya. Siapa tahu Pria itu telah menyesal dengan perbuatannya dan ingin bertaubat. Jika belum, maka ajaklah ia bertaubat, dan mintalah ia untuk menikahi Aisyah, sahabat Anda yang telah didzalimi olehnya.

Karena wanita boleh dinikahi saat hamil dengan syarat pria yang menikahinya adalah orang yang menghamilinya.Wallahu'alam.

0 comments

Post a Comment