بسم الله الرحمن الرحيم
Pasangan yang pernah berzina -naudzubullah min dzalika- memang
berdosa karena berzina,dan zina termasuk dari dosa-dosa besar. yang merusak dunia dan akhirat seseorang. Jika tegak hukum islam ditempat tersebut, keduanya wajib dicambuk 100 kali cambukan dan diasingkan selama setahun.
Bahkan kalau yang berzina itu berstatus muhshan (sudah menikah), hukumannya bukan sekedar cambuk tetapi hukuman rajam sampai mati.
Menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua. Yang pertama, hukumnya haram. Yang kedua, hukumnya boleh.
Bahkan kalau yang berzina itu berstatus muhshan (sudah menikah), hukumannya bukan sekedar cambuk tetapi hukuman rajam sampai mati.
Menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua. Yang pertama, hukumnya haram. Yang kedua, hukumnya boleh.
Yang
hukumnya haram adalah apabila yang menikahi bukan orang yang
menghamili. Wanita itu dihamili olehA, sedangkan yang menikahinya B.
Hukumnya haram sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) padatanaman orang lain. (HR Abu Daud)
Yang
dimaksud dengan tanaman orang lain maksudnya haram melakukan
persetubuhan dengan wanita yang sudah dihamili orang lain. Baik
hamilnya karena zina atau pun karena hubungan suami isteri yang sah.
Pendeknya, bila seorang wanita sedang hamil, maka haram untuk
disetubuhi oleh laki-laki lain, kecuali laki-laki yang menyetubuhinya.
Dari
dalil di atas kita mendapatkan hukum yang kedua, yaitu yang hukumnya
boleh. Yaitu wanita hamil karena zina dinikahi oleh pasangan zina yang
menghamilinya. Hukumnya boleh dan tidak dilarang.
Maka seorang
laki-laki menikahi pasangan zinanya yang terlanjur hamil dibolehkan,
asalkan yang menyetubuhinya (mengawininya) adalah benar-benardirinya
sebagai laki-lakiyang menghamilinya, bukan orang lain.
Perbedaan Pendapat TentangKebolehan Menikahinya
Memang
ada sebagian pendapat yang mengharamkan menikahi wanita yang pernah
dizinainya sendiri dengan berdalil kepada ayat Al-Quran Al-Kariem
berikut ini:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas
oran-orang yang mu'min. (QS. An-Nur: 3)
Namun kalau kita teliti, rupanya yang mengharamkan hanya sebagian kecil saja. Selebihnya, mayoritas para ulama membolehkan.
1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama
Jumhurul fuqaha'
(mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat
tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah
berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina
sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan
itu?
Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.
- Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz 'hurrima' atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
- Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.
- Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu ayat:
"Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur: 32).
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhuma.
Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa
seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah
secara syah.
Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:
Dari
Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang
yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu
beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu
yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny).
Dan hadits berikut ini:
Seseorang
bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang suka
berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan
diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan An-Nasa'i)
Selain itu juga ada hadits berikut ini
Dimasa
lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra, "Aku melakukan zina dengan
seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat.
Setelah itu aku ingin menikahinya, namun orang-orang berkata (sambil
menyitir ayat Allah), "Seorang pezina tidak menikah kecuali dengan
pezina juga atau dengan musyrik'. Lalu Ibnu Abbas berkata, "Ayat itu
bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa maka aku yang
menanggungnya." (HR Ibnu Hibban dan Abu Hatim)
Ibnu Umar
ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita,
bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab, "Ya, bila
keduanya bertaubat dan memperbaiki diri."
2. Pendapat Yang Mengharamkan
Sebagian
kecil ulama ada yang berpendapat untuk mengharamkan tindakan menikahi
wanita yang pernah dizinainya sendiri. Paling tidak tercatat ada
Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra' dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhum ajmain.
Mereka
mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia
diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah
berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh
laki-laki yang baik (bukan pezina).
Bahkan Ali bin Abi Thalib
mengatakan bahwa bila seorang isteri berzina, maka wajiblah pasangan
itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu
saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur:
3).
Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila isterinya serong dan tetap menjadikannya sebagai isteri.
Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts." (HR Abu Daud)
Di antara tokoh di zaman sekarang yang ikut mengharamkan adalah Syeikh Al-Utsaimin rahmahullah.
3. Pendapat Pertengahan
Sedangkan
pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau
mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina
dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.
Namun
bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak
ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya
syah secara syar'i.
Nampaknya pendapat ini agak menengah dan
sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseorang yang sudah
bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang
baik.
Lalu, karena penegakan syariah dan hukum hudud hanya bisa dilakukan oleh ulil amri (pemerintah)
maka hukum rajam, cambuk, dan yang lain belum bisa dilakukan. Sebagai
gantinya, tobat dari zina bisa dengan penyesalan, meninggalkan
perbuatan tersebut, dan bertekad untuk tidak mengulangi.
Dan
hukum pernikahan di antara mereka sudah sah, asalkan telah terpenuhi
syarat dan rukunnya. Harus ada ijab qabul yang dilakukan oleh suami
dengan ayah kandung si wanita disertai keberadaan 2 orang saksi
laki-laki yang akil, baligh, merdeka, dan 'adil.
Tidak Perlu Diulang
Kalau
kita mengunakan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan pernikahan
mereka sah, maka karena akad nikah mereka sudah sah, sebenarnya tidak
ada lagi keharusan untuk mengulangi akad nikah setelah bayinya lahir.
Karena pada hakikatnya pernikahan mereka sudah sah. Tidak perlu lagi
ada pernikahan ulang.
Buat apa diulang kalau pernikahan mereka
sudah sah. Dan sejak mereka menikah, tentunya mereka telah melakukan
hubungan suami isteri secara sah. Hukumnya bukan zina.
Status Anak
Adapun
masalah status anak, menurut sebagian ulama, jika anak ini lahir 6
bulan setelah akad nikah, maka si anak secara otomatis sah dinasabkan
pada ayahnya tanpa harus ada ikrar tersendiri.
Namun jika si
jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka
ayahnyadipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara
tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya. Itu saja
bedanya.
Bila seorang wanita yang pernah berzina itu akan menikah dengan orang lain, harus dilakukan proses istibra', yaitu menunggu kepastian apakah ada janin dalam perutnya atau tidak. Masa istibra'
itu menurut para ulama adalah 6 bulan. Bila dalam masa 6 bulan itu
memang bisa dipastikan tidak ada janin, baru boleh dia menikah dengan
orang lain.
Sedangkan bila menikah dengan laki-laki yang menzinahinya, tidak perlu dilakukan istibra'
karena kalaupun ada janin dalam perutnya, sudah bisa dipastikan bahwa
janin itu anak dari orang yang menzinahinya yang kini sudah resmi
menjadi suami ibunya. Wallahua'alam.
0 comments
Post a Comment