Apakah hukum mengadobsi anak dalam Islam ? 085250202403
Jawaban :
Pertama : Adopsi
anak sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum ada risalah Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dahulu anak adopsi dinasabkan kepada ayah
angkatnya, bisa menerima waris, dapat menyendiri dengan anak serta istrinya,
dan istri anak adopsi haram bagi ayah angkatnya (pengadopsi). Secara umum anak
adopsi layaknya anak kandung dalam segala urusan. Nabi SAW pernah
mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi sebelum beliau menjadi
Rasul, sehingga dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Tradisi ini berlanjut
dari zaman jahiliyah hinga tahun ketiga atau ke empat Hijriyah.
Kedua : Kemudian
Allah SWT memerintahkan anak-anak adopsi untuk
dinasabkan ke bapak mereka (yang sebenarnya) bila diketahui, tetapi jika tidak
diketahui siapa bapak yang asli, maka mereka sebagai saudara seagama dan
loyalitas mereka bagi pengadopsi juga orang lain. Allah mengharamkan anak
adopsi dinasabkan kepada pengadopsi (ayah angkat) secara hakiki, bahkan
anak-anak juga dilarang bernasab kepada selain bapak mereka yang asli, kecuali
sudah terlanjur salah dalam pengucapan. Allah mengungkapkan hukum tersebut
sebagai bentuk keadilan yang mengandung kejujuran dalam perkataan, serta
menjaga nasab dari keharmonisan, juga menjaga hak harta bagi orang yang berhak
memilikinya.
Allah SWT
berfirman, “Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai kandungmu
(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama-nama bapak mereka, itulah
yang lebih baik dan adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadaap apa yang kamu khilaf
padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab
: 4-5)
Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa yang disebut bukan
kepada bapaknya atau berafiliasi bukan kepada walinya, maka baginya laknat
Allah yang berkelanjutan.” (HR. Abu
Daud)
Ketiga : Dengan
keputusan Allah SWT yang membatalkan hukum adopsi anak (yaitu pengakuan anak
yang tidak sebenarnya alias bukan anak kandung) dengan keputusan itu pula Allah
membatalkan tradisi yang berlaku sejak zaman jahiliyah hingga awal Islam
berupa:
1.
Membatalkan tradisi pewarisan yang terjadi antara pengadopsi (ayah angkat) dan
anak adopsi (anak angkat) yang tidak mempunyai hubungan sama sekali. Dengan
kewajiban berbuat baik antara keduanya serta berbuat baik terhadap wasiat yang
ditinggalkan setelah kematian (ayah angkat) pengadopsi selama tidak lebih dari
sepertiga bagian dari hartanya. Hukum waris serta golongan yang berhak
menerimanya telah dijelaskan secara terperinci dalam syari’at Islam. Dalam
rincian tersebut tidak disebutkan adanya hak waris di antara keduanya.
Dijelaskan pula secara global perintah berbuat baik dan sikap ma’ruf dalam
bertindak.
Firman Allah SWT
: “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan
orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu
(seagama)” (Al-Ahzab : 6)
2. Allah SWT
membolehkan pengadopsi (ayah angkat) nikah dengan bekas istri anak angkat
setelah berpisah darinya. Hal tersebut dicontohkan oleh Rasulullah sebagai
penguat keabsahannya sekaligus sebagai pemangkas adat jahiliyah yang
mengharamkan hal tersebut. Firman-Nya : “Maka
tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya).
Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin
untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat
itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah
itu pasti terjadi.” (Al-Ahzab : 37)
Keempat : Dari
uraian diatas, maka menjadi jelas bahwa pembatalan terhadap hukum adopsi bukan
berarti menghilangkan makna kemanusiaan serta hak manusia berupa persaudaraan,
cinta kasih, hubungan sosial, hubungan kebajikan dan semua hal berkaitan dengan
semua perkara yang luhur, atau mewasiatkan perbuatan baik.
a. Seseorang
boleh memanggil kepada yang lebih muda darinya dengan sebutan “wahai anakku”
sebagai ungkapan kelembutan, kasih sayang, serta perasaan cinta kasih sayang
kepadanya, agar ia merasa nyaman dengannya dan mendengarkan nasehatnya atau
memenuhi kebutuhannya. Boleh juga memanggil orang yang usianya lebih tua dengan
panggilan, “wahai ayahku” sebagai penghormatan terhadapnya, mengharap kebaikan serta
nasehatnya, sehingga menjadi penolong baginya, agar budaya sopan santun merebak
dalam masyarakat, simpul-simpul antar individu menjadi kuat hingga satu sama
lain saling merasakan persaudaraan seagama yang sejati.
b. Syari’at
Islam telah menganjurkan untuk bertolong menolong dalam rangka kebajikan dan
ketakwaan serta mengajak semua manusia berbuat baik dan menebarkan kasih
sayang. Firman Allah SWT : “Dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaijkan dan takwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah
: 2)
Rasulullah SAW
bersabda: “Peumpamaan orang-orang mukmin dalam
masalah kecintaan dan kasih sayang serta pertolongan di antara mereka bagaikan
satu tubuh. Jika salah satu organ mengeluh kesakitan, niscaya seluruh tubuh
ikut panas dan tak dapat tidur.” (Hadits
Riwayat Ahmad dan Muslim)
Termasuk dalam hal
tersebut mengurusi anak yatim, fakir miskin, tuna karya dan anak-anak yang
tidak mempunyai orang tua, yaitu dengan mangasuh dan berbuat baik kepadanya.
Sehingga di masyarakat tidak terdapat orang yang terlantar dan tak terurus.
Karena ditakutkan umat akan tertimpa akibat buruk dari buruknya pendidikan
serta sikap kasarnya, ketika ia merasakan perlakuan kasar serta sikap acuh dari
masyarakat.
Kewajiban
pemerintah Islam adalah mendirikan panti bagi orang
tidak mampu, anak yatim, anak pungut, anak tidak berkeluarga dan yang senasib
dengan itu. Bila keuangan Baithul Mal tidak mencukupi, maka bisa meminta
bantuan kepada orang-orang mampu dari kalangan masyarakat, Sabda Nabi SAW : “Siapapun seorang mukmin mati meninggalkan
harta pusaka, hendaknya diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak, siapapun
mereka.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari)
Kesimpulan
Para
ulama sepakat menghukumi haram adopsi dengan model sebagaimana yang
dijelaskan diatas,
seperti mengganti nasab seseorang kepada orang lain
yang memang bukan nasabnya.
Namun harus
dibedakan antara adopsi yang haram dengan memelihara anak orang
tanpa mengubah nasab. Yang kedua ini tentu saja hukumnya boleh, apalagi kalau
anak itu miskin, yatim, kekurangan kasih sayang asli dari seorang ayah atau
ibu. Dengan
catatan :
1.
Seorang anak gadis cilik yang dipelihara
oleh seorang ayah, lalu tumbuh dewasa dan mendapat haidh
pertama, maka hubungan mereka tetap bukan mahram. Si gadis itu wajib berjilbab,
menutup aurat, tidak boleh berduaan (khalwah), tidak boleh bepergian berdua dan
seterusnya. Mereka adalah dua insan ajnabi
sebagaimana umumnya orang lain.
2.
Demikian juga seorang anak laki-laci cilik
yang dipelihara oleh seorang wanita, ketika anak laki-laki itu menjadi dewasa, maka
kedua tetap tidak mahram. Keduanya adalah orang asing yang tetap harus
menjalankan hubungan sebagai orang asing.
Kecuali seandainya
bayi itu adalah anak saudaranya (karena masih mahram), maka tidak berlaku hal
diatas. Atau bahwa bayi itu meskipun orang lain sempat disusui oleh si wanita
itu, minimal 5 kali penyusuan yang sempurna, maka jadilah ia mahram karena
penyusuan (radha'ah). Wallahu a’lam bis
shawwab.
0 comments
Post a Comment