MENONTON TIVI







Apakah hukum menonton tivi menurut syariat ? 085250311673


Jawaban :
Televisi adalah tak ubahnya seperti radio, surat kabar, dan majalah. Semua itu hanyalah alat atau media yang digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan sehingga Anda tidak dapat mengatakannya baik atau buruk, halal atau haram. Segalanya tergantung pada tujuan dan materi acaranya. Seperti halnya pedang, di tangan mujahid ia adalah alat untuk berjihad; dan bila di tangan perampok, maka pedang itu merupakan alat untuk melakukan tindak kejahatan. Oleh karenanya sesuatu dinilai dari sudut penggunaannya, dan sarana atau media dinilai sesuai tujuan dan maksudnya.
Televisi dapat saja menjadi media pembangunan dan pengembangan pikiran, ruh, jiwa, akhlak, dan kemasyarakatan. Demikian pula halnya radio, surat kabar, dan sebagainya. Tetapi di sisi lain, televisi dapat juga menjadi alat penghancur dan perusak. Semua itu kembali kepada materi acara dan pengaruh yang ditimbulkannya.

Dapat
dikatakan bahwa media-media ini mengandung kemungkinan baik, buruk, halal, dan haram. Dan seorang muslim hendaknya dapat mengendalikan diri terhadap media-media seperti ini, sehingga dia menghidupkan radio atau televisi jika acaranya berisi kebaikan, dan mematikannya bila berisi keburukan. Lewat media ini seseorang dapat menyaksikan dan mendengarkan berita-berita dan acara-acara keagamaan, pendidikan, pengajaran, atau acara lainnya yang dapat diterima (tidak mengandung unsur keburukan/keharaman). Sehingga dalam hal ini anak-anak dapat menyaksikan gerakan-gerakan lincah dari suguhan hiburan yang menyenangkan hatinya atau dapat memperoleh manfaat dari tayangan acara pendidikan yang mereka saksikan.
Namun begitu, ada acara-acara tertentu yang tidak boleh ditonton, seperti tayangan film-film Barat yang pada umumnya merusak akhlak. Karena didalamnya mengandung unsur-unsur budaya dan kebiasaan yang bertentangan dengan aqidah Islam yang lurus. Misalnya, film-film itu mengajarkan bahwa setiap gadis harus mempunyai teman kencan dan suka berasyik masyuk. Kemudian hal itu dibumbui dengan bermacam-macam kebohongan, dan mengajarkan bagaimana cara seorang gadis berdusta terhadap keluarganya, bagaimana upayanya agar dapat bebas keluar rumah, termasuk memberi contoh bagaimana membuat rayuan dengan kata-kata yang manis. Selain itu, jenis film-film ini juga hanya berisikan kisah-kisah bohong, dongeng-dongeng khayal, dan semacamnya. Singkatnya, film seperti ini hanya menjadi sarana untuk mengajarkan moral yang rendah. Secara objektif sebagian besar film tidak luput dari sisi negatif seperti ini, tidak sunyi dari adegan-adegan yang merangsang nafsu seks, minum khamar, dan tari telanjang.

Inilah yang menyebabkan orang yang konsisten pada agamanya dan menaruh perhatian terhadap akhlak anak-anaknya melarang memasukkan media-media seperti televisi dan sebagainya ke rumahnya. Sebab mereka berprinsip, keburukan yang ditimbulkannya jauh lebih banyak daripada kebaikannya, dosanya lebih besar daripada manfaatnya, dan sudah tentu yang demikian adalah haram. Lebih-lebih media tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa dan pikiran, yang cepat sekali menjalarnya, belum lagi waktu yang tersita olehnya dan menjadikan kewajiban terabaikan.
Tidak diragukan lagi bahwa hal inilah yang harus disikapi dengan hati-hati, ketika keburukan dan kerusakan sudah demikian dominan. Namun cobaan ini telah begitu merata, dan tidak terhitung jumlah manusia yang tidak lagi dapat menghindarkan diri darinya, karena memang segi-segi positif dan manfaatnya juga ada. Karena itu, yang paling mudah dan paling layak dilakukan dalam menghadapi kenyataan ini adalah berusaha memanfaatkan yang baik dan menjauhi yang buruk di antara film bentuk tayangan sejenisnya.


Hal ini dapat dihindari oleh seseorang dengan jalan mematikan
/memindah cannel radio atau televisinya, menutup surat kabar dan majalah yang memuat gambar-gambar telanjang yang terlarang, dan menghindari membaca media yang memuat berita-berita dan tulisan yang buruk.
Manusia adalah mufti bagi dirinya sendiri, dan dia dapat menutup pintu kerusakan dari dirinya. Apabila ia tidak dapat mengendalikan dirinya atau keluarganya, maka langkah yang lebih utama adalah jangan memasukkan media-media tersebut ke dalam rumahnya sebagai upaya preventif (saddudz dzari'ah).
Kesimpulan :
  1. Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (dibolehkan) termasuk televisi.
  2. Perkara yang mubah jika dapat mengantarkan pada perkara yang dilarang atau menyia-nyiakan, maka lebih pantas untuk ditinggalkan dan dijauhi. Sebagaimana para ulama seringkali membawakan kaedah fiqhiyah: Maa yatawaqqoful haromu ‘alaihi fa huwa haromun (Suatu yang bisa menyebabkan terjerumus pada yang haram, maka sarana menuju yang haram tersebut menjadi haram). Begitu pula kaedah lainnya: Wasail makruh makruhatun (Perantara kepada perkara yang makruh juga dinilah makruh). Sehingga yang dibolehkan adalah jika televisi digunakan untuk hal yang bermanfaat (untuk agama dan dunia) saja seperti untuk mendengar kajian ilmu agama yang bermanfaat, mendengar tanya jawab ulama, dan hal yang bermanfaat lainnya.
  3. Meskipun secara ushul hukum televisi adalah mubah, namun rentan menimbulkan kemudhratan. Dalam kaedah fiqhiyah disebutkan: Mencegah kejelekan lebih didahulukan daripada mendapatkan manfaat (dar-ul mafaasid muqoddam ‘ala jalbil masholih). Kejelekan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh TV untuk saat ini lebih banyak, daripada manfaatnya yang sedikit. Sehingga pemilik tivi harus benar-benar bersungguh-sungguh dalam menjaga kemudharatan yang ditimbulkannya.
Pada Akhirnya, dituntut tanggung jawab negara secara umum dan tanggung jawab produser serta seluruh pihak yang berkaitan dengan media-media informasi tersebut. Karena bagaimanapun, Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban kepada mereka terhadap semua itu. Maka hendaklah mereka mempersiapkan diri sejak sekarang. Wallahu a’alam.

0 comments

Post a Comment