Mengenai hukum berisyarat
dengan jari telunjuk saat tasyahhud, ulama telah ijma’ (bersepakat ) tentang
kesunnahannya. Dalil dalam masalah ini sangat banyak, diantaranya adalah sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Zubair, dia berkata : “Rasulullah
SAW apabila beliau duduk berdoa (tahiyyat), beliau biasa meletakkan tangan kanannya
di atas paha kanannya, dan tangan kirinya di atas paha kirinya, dan beliau mengisyaratkan
dengan jari telunjuknya, dan beliau meletakkan ibu jarinya di atas jari
tengahnya, dan meletakkan tapak tangan kirinya di atas lututnya.” (HR
Muslim, Syarah Muslim 5:79)
Telah berkata Ibnu Umar: “Adalah Rasulullah Saw apabila beliau duduk
di shalat, Ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya, dan ia genggam
sekalian jarinya, dan Ia isyarat dengan jari yang disebelah ibu jari, dan ia
letakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.” (HR Muslim)
Hanya saja, ulama mazhab
berbeda pendapat mengenai tatacaranya,
misalnya, bagaimana jari tersebut
digerakkan dan kapan menggerakkannya.
PENDAPAT PARA ULAMA DALAM MASALAH INI
1.
Para ulama madzhab Hanafi berpendapat mengangkat jari telunjuk tanpa
digerak-gerakkan pada kata nafï (peniadaan) saat dua kalimat syahadat, yaitu
saat mengucapkan “Laa” dan meletakkannya (jari telunjuk) itu kembali ke semula
pada kata itsbat (peneguhan), yaitu pada kata “Illa”.
2.
Para ulama Syafi’i berpendapat mengangkat jari telunjuk tanpa digerak-gerakkan pada
saat mengucapkan “Illallah”.
3.
Sebagian Maliki berpendapat menggerakkan jari telunjuk ke kanan dan kiri hingga
selesai shalat.1
4.
Para ulama Hambali berpendapat memberikan isyarat dengan telunjuknya setiap
kali menyebutkan nama Allah dan tidak menggerakkannya.
Sebab perbedaan dalam
MEMULAI menggerakkan jari pada tasyahud
Sebab perbedaan ulama mazhab dalam memulai
isyarat tasyahud lebih disebabkan karena tidak ada dalil yang sharih (jelas) mengenainya.
Sehingga para ulama pun berijtihad dalam permasalahan ini.
A.
Syafi’iyyah
Menurut madzhab Syafi’i,
bahwa tempat mengangkat telunjuk itu sebaiknya apabila telah sampai pada hamzah
illallah, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Zubad karangan
Ibnu Ruslan: “Ketika sampai pada illallah, maka angkatlah jari
telunjukmu untuk mentauhidkan zat yang engkau sembah”.
Pendapat diantaranya didasarkan kepada dalil-dalil
berikut ini :
1.
Dalam shahih Muslim II: 890 diriwayatkan
sebuah hadits dari Jabir ra. menyebutkan bahwa “Rasulullah Saw bersabda seraya (berisyarat) dengan jari
telunjuknya. Beliau mengangkatnya ke langit dan melemparkan (mengisyaratkan
kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad,
Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”.
Telunjuk disebut juga syahid
(saksi), sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia berisyarat dengan
telunjuk tersebut. Nabi saw. sendiri jika mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma
isyhad” (suka) berisyarat dengan telunjuknya, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Imam Darimi I:314-315 dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah
wal Al-Atsar III:51, hadits shahih.
2.
Dalam sunan Baihaqi II:133
disebutkan: “Rasulullah Saw melakukan itu ketika men-tauhid-kan Tuhannya
yang Maha mulia dan Mahal uhur”, yakni ketika menetapkan tauhid dengan
kata-kata illallah (hanya Allah) dalam syahadat.
3.
Dalam riwayat lain, Imam Baihaqi II:133 dengan
sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari dengan
redaksi, “Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. hanya menghendaki dengan (isyarat)
itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah swt.)”, sedangkan ungkapan ketauhidan
terdapat dalam kalimat syahadat itu.
Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Mujma’
Al-Zawaid II:140, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara
panjang lebar…”.
4.
Pendapat ini juga
didasarkan kepada hadits Abdullah bin Umar ra.; “Dan (beliau Saw) mengangkat
jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari lalu berdo’a”. (HR.Imam Muslim dan
Imam Baihaqi II:130, serta perawi lainnya). Do’a yang dimaksud hadits tersebut
ialah membaca sholawat kepada Nabi saw. dan do’a-do’a lainnya sebelum
mengucapkan salam.
Imam Al-Baihaqi dalam Syarh
As-Sunnah III : 177 mengatakan “Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan
sahabat dan tabi’in serta orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan
jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha
illallah) dan (mulai) mengisyaratkannya pada kata illallah….”
B.
Hanafiyyah
Sedangkan menurut madzhab
Hanafi, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah diketika Laa ilaaha dan
meletak kan telunjuk diketika illallah. Menurut pendapat ini, mengangkat
telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penafian uluhiyyah (ketuhanan)
dari yang selain Allah, sedangkan ketika meletakkan telunjuk adalah sebagai
isyarat kepada penetapan uluhiyyah hanya untuk Allah semata.
C.
Hanabilah
Menurut madzhab Hanbali,
bahwa mengangkat telunjuk itu adalah disetiap menyebut lafdhul jalalah
pada tasyahhud dan do’a sesudah tasyahhud.
D.
Malikiyyah
Sedangkan Mazhab Maliki
memulai isyarat dari awal Tasyahud dengan dalil dhahir hadits yang mengatakan
Nabi Saw berisyarat dengan telunjuknya ketika Tasyahud.
Sebab perbedaan antara
TASABIT (TETAP) dan MENGGERAK-GERAKKAN jari pada tasyahud
Sebab perbedaan pendapat mazhab dalam
masalah ini adalah adanya beberapa hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada
yang menyebutkan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang menyebutkan
jari tidak digerak-gerakkan.
Titik masalahnya hanya
kembali kepada cara memahami naskah hadits, di mana ada dalil yang shahih yang
disepakati bersama tentang keshahihannya, namun dipahami dengan cara yang
berbeda oleh masing-masing ulama.
HADITS PERTAMA
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا
“Sesungguhnya Nabi Saw
beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak
mengerak-gerakkannya”.2
Derajat Hadits
Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang
dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan
bahwa hadits ini adalah hadits yang shahih atau hasan sebelum dipastikan bahwa
hadits ini bebas dari ‘Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan
ternyata lafadz laa yuharrikuha
(tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz.3
HADITS YANG KEDUA
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ
الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ
الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا
مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di
atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan
beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata :
“Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithan”. Dan beliau berkata : “Adalah
Rasulullah Saw mengerjakannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi
Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.
Derajat Hadits
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh
(terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda
pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar
sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u
katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah
dha’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat)
yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua
kesalahan dalam hadits ini.
Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin
Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan
ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqah juga meriwayatkan
dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi
dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar.
Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin
Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini
merupakan kesalahan karena dua sebab :
1. Enam rawi yang tersebut di atas
dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak
digerak-gerakkan).
2. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany :
‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak
disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka
dalam Shahih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu
Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245,
Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan
Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa
hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.
HADITS KETIGA
(ثُمَّ قَبَضَ بَيْنَ
أَصَابِعِهِ فَحَلَقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهِِ فَرَأَيْتُهُ
يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا
“Kemudian beliau menggenggam dua jari
dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya
(telunjuk-pent.), maka saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa
dengannya”.4
Derajat Hadits
Hadits ini juga syadz dan penjelasannya
adalah bahwa : Za`idah bin Qudamah adalah seorang rawi tsiqah yang kuat
hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang
mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqah bahkan sebagian dari mereka
itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi
seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya
riwayat Za`idah. Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari
ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang
menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan).
Penyebutan lafazh yuharrikuha (jari
telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa’il bin Hujr adalah lemah tidak bisa
dipakai berhujjah. Wallahu A’lam.
Imam
Baihaqi dalam sunannya memberi komentar terhadap hadits Wa’il bin Hujr sebagai
berikut : “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tahrik disitu adalah
mengangkat jari telunjuk, bukan menggerak-gerakkannya secara berulang sehingga
dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair”.
Kesimpulan :
1.
Dari
pembahasan di atas yang telah disimpulkan bahwa hadits yang menyebutkan jari
digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah dan demikian pula hadits yang
menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah.
2.
Maka
yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz (Arab) yang artinya
berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya adalah
bahwa kata “berisyarat” itu mempunyai dua kemungkinan :
Pertama : Dengan
digerak-gerakkan. Seperti kalau saya memberikan isyarat kepada orang yang
berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat itu akan disertai dengan gerakan
tangan dari atas ke bawah.
Kedua : Dengan tidak
digerak-gerakkan. Seperti kalau kita berada dalam perpustakaan kemudian ada
yang bertanya kepada kita : “Dimana letak kitab Shahih Al-Bukhary?” Maka
tentunya kita akan mengisyaratkan tangan kearah kitab Shahih Al-Bukhary yang
berada diantara sekian banyak kitab dengan tidak menggerakkan-gerakkan.
Walaupun kata “berisyarat” itu
mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa dipastikan bahwa berisyarat yang
diinginkan dalam hadits tersebut adalah berisyarat dengan tidak
digerak-gerakkan. Hal tersebut bisa dipastikan karena beberapa perkara :
Pertama : Ada kaidah di kalangan para
ulama yang mengatakan Ash-Shalatu Tauqifiyah (shalat itu adalah tauqifiyah)
maksudnya tata cara shalat itu dilaksanakan kalau ada dalil dari Al-Qur’an
maupun As-Sunnah. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dari shalat itu adalah
tidak ada gerakan di dalamnya kecuali kalau ada tuntunan dalilnya dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan demikian pula berisyarat dengan jari telunjuk, asalnya
tidak digerakkan sampai ada dalil yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu
diisyaratkan dengan digerakkan dan telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan
menggerak-gerakkan jari telunjuk adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam
berisyarat itu dengan tidak digerak-gerakkan.
Kedua : Dalam hadits ‘Abdullah bin
Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim:
إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً
“Sesungguhnya di dalam shalat adalah
suatu kesibukan”
Maka ini menunjukkan bahwa seorang
muslim apabila berada dalam shalat ia berada dalam suatu kesibukan yang tidak
boleh ditambah dengan suatu pekerjaan yang tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an
atau hadits Rasulullah Saw yang shahih.
Pendapat yang Rajih
antara yang menggerak-gerakkan dan yang stabit (tetap/ tidak
menggerak-gerakkan)
Tersimpul dari pembahasan di atas bahwa
pendapat yang rajih tentang keadaan jari telunjuk dalam berisyarat (menunjuk)
ketika tasyahud adalah tidak digerak-gerakkan. Namun jangan karena kita
berpegang dipendapat ini, kemudian kita terjatuh kepada sikap menyalahkan dan
mudah mencela orang yang berbeda pendapat.Karena dalam mazhab syafi’I sekalipun menggerak-gerakkan jari
tidaklah dipandang sebagai pembatal shalat,hanya dihukumi makruh. Dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1: 220 disebutkan : “Dan tidaklah
boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuk- nya. Apabila
digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan shalat menurut
pendapat yang lebih shahih dan dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk
itu adalah gerakan yang ringan.
Wallahu a’lam.
--------
1.
Namun hal ini diingkari
oleh sebagian kalangan malikiyah. Diantaranya adalah Al-Hafidh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat
Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan; “Jauhilah olehmu
menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahhud, dan janganlah berpaling keriwayat Al-‘Uthbiyyah,
karena riwayat tersebut baliyyah (mengandung bencana)”.
Sedangkan Al-Hafidh Ibn Al-Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashar
Fiqh-nya mengatakan bahwa yang masyhur dalam madzhab Imam Malik
adalah tidak menggerakkan telunjuk yang diisyaratkan itu.
2.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam
Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy
dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj
bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah
bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan
hadits di atas.
3.
Makna
syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling
kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :
¤ Pertama : Syadz karena seorang rawi
yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena beberapa faktor.
¤ Kedua : Syadz karena menyelisihi.
Dan yang kami maksudkan disini adalah
yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah : Riwayat seorang
maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya.
Sedangkan maksud “rawi maqbul” adalah
rawi derajat shahih atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama
dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui
bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho’if (lemah) dikalangan para
ulama Ahli Hadits.
4. Hadits ini
diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889
dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud
dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860
dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82,
Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj
1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari ‘Ashim bin
Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.
Rujukan :
1.
Ibnu
Hajar al Asqalaniy, Fathul Bari ; Darul Fikr cetakan keempat : Beirut.
2.
Sayid
Sabiq, Fiqhus Sunnah; Darul Ibnu Katsir
cetakan kedua : Beirut
3.
Kitab
Al-Bisyarah Fi Syudzudz Tahrik Al-Usbu’ Fi Tasyahud Wa Tsubutil Isyarah,
Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 4/151, Subulus Salam 1/189, Nailul Authar, ‘Aunul
Ma’bud 3/196, Tuhfah Al-Ahwadzy 2/160.
Kitab empat mazhab :
1.
Madzhab
Hanafiyah: Kifayah Ath-Tholib 1/357.
2.
Madzhab
Malikiyah : Ats-Tsamar Ad Dany 1/127, Hasyiah Al-Adawy 1/356, Al-Fawakih
Ad-Dawany 1/192.
3.
Madzhab Syafiiyyah dalam : Hilyah Al-Ulama
2/105, Raudhah Ath-Tholibin 1/262, Al-Majmu’ 3/416-417, Al-Iqna’ 1/145, Hasyiah
Al-Bujairamy 1/218, Mughny Al-Muhtaj 1/173.
4.
Madzhab
Hambaliyah lihat dalam : Al-Mubdi’ 1/162, Al-Furu’ 1/386, Al-Inshaf 2/76,
Kasyful Qona 1/356-357.
5.
Al
mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah ; Maktabah Syamilah
6.
Al
Jaziri, Fiqhu ‘ala Mazhabil ‘Arba’ah,Darul fikr 2002, Beirut.
0 comments
Post a Comment