- Harta itu tumbuh (an-nama')
Syarat pertama
adalah bahwa harta itu adalah harta yang tumbuh atau bisa ditumbuhkan, harta
itu tidak mati atau tidak diam.
Dalam bahasa
kita sekarang ini, harta itu dimiliki pokoknya namun bersama dengan itu, harta
itu bisa memberikan pemasukan atau keuntungan bagi pemiliknya. Di antara contoh
harta yang termasuk tumbuh adalah:
- Harta berbentuk usaha pertanian, di mana seiring
dengan berjalannya waktu, para petani akan memanen hasil dari bibit yang
ditanamnya. Pertumbuhan ini akan melahirkan konsekuensi kewajiban zakat.
Sedangkan bila bibit tumbuhan itu tidak ditanam, maka tidak akan ada
pertumbuhan, maka tidak ada kewajiban zakat.
- Uang yang diinvestasikan dalam sebuah
perdagangan. Di mana perdagangan itu sendiri akan memberikan keuntungan,
sementara uang yang menjadi modalnya tetap utuh.
- Demikian juga dengan harta yang dimiliki oleh
seorang peternak, di mana awalnya dia hanya memiliki anak sapi, kemudian
dipelihara sedemikian rupa hingga anak sapi itu tumbuh menjadi sapi
dewasa. Anak kambing yang dipelahara kemudian tumbuh menjadi kambing
dewasa, anak ayam yang dipelihara kemudian tumbuh menjadi ayam dewasa. Di
sini jelas sekali ada unsur pertumbuhan. Semua fenomena pertumbuhan inilah
yang mewajibkan zakat.
Para ulama
mengatakan bahwa uang tunai itu dianggap sebagai harta yang tumbuh. Meskipun
pemiliknya mendiamkannya saja atau menyimpannya di dalam lemari. Sebab uang
tunai itu sudah berbentuk harta yang siap langsung diinvestasikan dan diputar
sebagai modal, kapan saja dan di mana saja.
Berbeda dengan
harta dalam bentuk tanah atau rumah yang bukan dana segar. Benda-benda itu
tidak bisa secara langsung dianggap tumbuh, kecuali bila disewakan, maka wajib
dibayarkan zakatnya.
- Harta itu dimiliki secara sempurna (al-milkut-taam)
Artinya bahwa
meskipun suatu harta kekayaan sudah
nishab zakat, tetapi ia merupakan titipan orang lain atau sebagiannya adalah
milik orang lain, maka tidaklah wajib untuk dizakati.
- Harta itu memenuhi jumlah standar minimal (nisab)
Masing –masing kekayaan
wajib zakat memiliki nishab (kadar dari sebuah kekayaan yang wajib dikeluarkan
zakatnya). Semisal Zakat
simpanan emas nisabnya adalah 85 gram,
nishab hewan ternak adalah 30 ekor dan seterusnya.
- Harta itu telah dimiliki untuk jangka waktu
tertentu (haul)
Haul
adalah tempo yang dilalui oleh suatu objek zakat untuk wajibnya dikeluarkan
zakatny. Haul zakat adalah selama 12
bulan qamariyah (hijriyah) dan jumlahnya setelah setahun itu masih sesuai
nishabnya atau lebih. Kalau ternyata nishab objek zakat tidak sampai haul, maka
tidaklah wajib zakat. Misalnya, kita memiliki uang dalam jumlah Rp
100.000.000,- pada bulan Ramadhan ini, (nilai ini tentu sudah melampau nishab
zakat mal) kemudian di bulan sya’ban ditahun depan, uang itu terpakai untuk
berbagai keperluan sehingga hanya sisa Rp 1. 500.000,- artinya tidak memenuhi nishabnya,
maka kewajiban zakat gugur dari harta tersebut.
- Harta itu telah melebihi kebutuhan dasar.
Artinya, zakat
yang dikeluarkan dari harta seseorang adalah harta kekayaan yang merupakan
kekayaan bersih. Yaitu telah dikurangi kebutuhan sehari-hari ditambah utang
piutang. Sisanya, jika memenuhi nishab dan sampai haul (bilangan satu tahun),
barulah dizakati.
Nizhab zakat
mal
Nishab
zakat mal (dalam hal ini uang ) adalah dikiaskan kepada nishab emas yang
disimpan.
Zakat
simpanan emas nisabnya adalah 85 gram dan zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5 % dari
total nilai emas.
(bisa juga dengan nishab perak yaitu 595 gr perak)
Misal
: kita memiliki simpanan emas dalam setahun 100 gram, maka yang harus dikeluarkan zakatnya adalah sebanyak 2,5% x 100 gram = 2,5 gram emas.
Jika
kita hendak menghitung zakat mal (uang),
tinggal dikonversi saja. Mislanya, harga emas sekarang ini 200.000 per gram,
maka kekayaan dalam nilai uang yang
wajib dizakati adalah 200.000 x 85 gram = Rp 17.000.000.
Jika anda memiliki kekayaan dengan nilai
17.000.000 atau lebih dalam setahun, maka wajib dikeluarkan zakatnya 2,5%. Misal,
kekayaan anda 20 juta maka penghitungannya adalah 2,5% x 20.000.000. = 500.000.
Semoga
penjelasan kami ini bisa dipahami. Wallahu a’lam.
0 comments
Post a Comment