SHALAT GHAIB


Ustadz, ana ingin bertanya, apakah sebenarnya hukum shalat ghaib ? Karena ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa ini adalah Bid’ah.  085250689978
Jawaban :
Disebutkan bahwa para ulama’ dan fuqaha terbagi menjadi dua pendapat dalam masalah shalat ghaib[1], yaitu sebagai berikut :

1. Pendapat Yang Menolak Pensyariatan Shalat Ghaib

Mereka adalah para ulama dari kalangan Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah. Dalam pandangan mereka, tidak boleh shalat untuk mayit yang tidak karena tidak ada ketentuannya dalam syariat. Bila hal ini disyariatkan, tentu Rasulullah dan juga para shahabat akan mengerjakannya.
Sedangkan menurut mereka, praktek Rasulullah Saw yang dahulu pernah menshalatkan jenazah Raja Habasyah, Najasyi, menurut mereka adalah sebuah pengecualian atau sifatnya lughawiyah. Kalau pun dikerjakan, hukumnya adalah makruh.[2]

2. Pendapat Yang Mendukung Shalat Ghaib

Para fuqaha dari kalangan Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa shalat ghaib untuk jenazah itu ada masyru`iyahnya dan merupakan shalat sunnah yang dianjurkan.[3] Meski jenazahnya tidak berada di hadapan kita seperti di luar negeri.”
Dasar dari pendapat tentang adanya syariat shalat ghaib menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali adalah praktek shalat ghaib Rasulullah SAW kepada jenazah raja Habasyah, An-Najasyi.
     1. Dari Jabir ra bahwa Rasulullah Saw menshalatkan An-Najasyi dan bertakbir 4 kali. (HR Muttafaqun 'alaih)
    2.  Dan juga sebuah hadits dalam shahih Muslim : Rasul Saw bertanya tentang seorang wanita yang biasa berkhidmat di masjid, para sahabat berkata ia telah wafat, maka Rasul Saw marah dan berkata : “Kenapa tak kalian katakan padaku ?” maka para sahabat menjawab ; ia wafat di malam hari wahai Rasulullah, kami enggang membangunkanmu untuk hadir jenazahnya, maka Rasul Saw minta ditunjukkan makamnya, lalu Rasul Saw bertakbir (shalat gaib) didepan makamnya diikuti para sahabat, 4 kali takbir dengan keadaan berdiri lalu bersalam.
Mazhab ini bukan hanya membolehkan menshalati mayit yang terpisah ditempat yang jauh, bahkan juga membolehkan shalat ghaib untuk jenazah yang jaraknya tidak terlalu jauh, sehingga posisi jenazah tidak harus berada di luar negeri. Biasanya, mereka menggunakan jarak batas minimal safar, yaitu sejauh minimal sejauh 16 farsakh, atau setara dengan 89 km.
Mazhab ini juga membolehkan posisi jenazah tidak searah dengan arah kiblat, asalkan shalatnya tetap menghadap kiblat.[4] Bahkan dibolehkan untuk shalat jenazah secara ghaib hingga rentang waktu sebulan setelah dimakamkannya jenazah itu.

Kesimpulan
Terang masalah ini telah menjadi area perbedaan pendapat dikalangan ulama. Karena itu, janganlah kita mudah membid’ahkan sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan mengenyampingkan hadits lainnya. Karena membid’ahkan atau menganggap sesat sama saja mengharamkan amalan tersebut.
Selama masih di dalam wilayah ijtihad, tidak ada orang yang berhak menyalahkan pendapat orang lain apalagi menganggapnya sebagai bid'ah yang tercela. Wallahua'lam.




[1] Mughni al Muhtaj, 1/345, Al Majmu’, 5/209.
[2] Fiqh Islami wa Adilatuhu, 2/443,  Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 16/35.
[3] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 16/35, Fiqh ‘ala Mazhab al ‘Arba’ah, 1/446, Fiqh Islami wa Adilatuhu, 2/443.
[4] Fiqh Islami wa Adilatuhu, 2/445.

0 comments

Post a Comment