Apa Itu Hadits Shahih, Hasan dan Dhaif ?

Pertanyaan :

Sering diceramah-ceramah dan juga dipembahasan buletin Al Bayan disebut tentang hadits shahih, hasan dan dha’if, apakah yang dimaksud dengan hadits dengan predikat tersebut ? Meskipun kami telah bertanya kekanan kekiri, dan telah mendapat penjelasan singkat, tetapi seperti biasa, belum pas rasanya kalau belum bertanya ke Al Bayan.  Hamba Allah – Sangatta.

Jawaban :

A. Hadits Shahih
Kata Shahih الصحيح dalam bahasa diartikan sehat lawan dari kata as-saqim السقيم artinya orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat. 
 
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan "hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit (kuat hafalan), tidak syadz (asing) dan tidak ber’ilat (cacat)".

Defisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:

Pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),

Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.

Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadits shahih sebagai berikut:
  • Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi terakhir.
  • Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti adil dan dhobith,
  • Haditsnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
  • Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
1. Pembagian Hadits Shahih
Para ahli hadits membagi hadits shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih li-ghorihih. perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perowinya. pada shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna, sedang pada hadits shahih li-ghorihih, ingatan perowinya kurang sempurna.
  • Hadits Shahih li dzati
Yaitu hadits yang syarat-syarat hadits shahih tersebut benar-benar telah terbukti adanya.
  • Hadits Shahih li gharihi
Hadits shahih li-gharihih, adalah hadits hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melalui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.

2. Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.

3. Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:

Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.

Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.

Ketiga, ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.

Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
  • Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
  • Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
  • Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
  • Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
  • Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
  • Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
  • Hadits yang dinilai shahih menurut ilama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.

B. HADITS HASAN
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara hadits shahih dan hadits dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya.

Definisi Tirmidzi: yaitu semua hadits yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejangalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah hadits hasan.

Definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadits ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadits shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadits hasan li dszatihi.

Kriteria hadits hasan sama dengan kriteria hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadits shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadits hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadits dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadits hasan lebih unggul.

1. Macam-Macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasasn pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih;
  • Hasan Li-Dzatih
Hadits hasan li-dzatih adalah hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits hasan yang telah ditentukan. pengertian hadits hasan li-dzatih
  • Hasan Li-Ghairih
Hadits hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadits tersebut pada dasarnya adalah hadits dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka kedudukan hadits dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadits hasan li-ghairih.

2. Kehujahan Hadits Hasan
Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya dibawah hadits shahih, adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadits, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadits hasan.

C. HADITST DHAIF
Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.

1. Macam-macam hadits dhaif
Haditst dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.

  • Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :

1)      Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad, yaitu rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.

2)      Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.

3)      Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.

4)      Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ).

  • Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.

Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :

1)      Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatik terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .

Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya. “Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.

2)      Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta, atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.

3)      Hadits Munkar
Haditst munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat.

4)      Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat (cacat). Ialah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi, dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.

5)      Hadits mudraj
Haditst ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu.

6)      Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam

7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.

2. Kehujahan dan Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif
Sebenarnya kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap hadits dhaif itu sangat beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing. Dan menariknya, mereka itu bukan orang sembarangan. Semuanya adalah orang-orang besar dalam bidang ilmu hadits serta para spesialis.

Maka posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstalasi para ulama hadits.

1)      Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Bagi pemegang kelompok ini hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.

Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.

2)      Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif
Jangan salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua hadits dhaif. Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.

Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarak dan yang lainnya.

Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”

3)      Kalangan Menengah
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Yang berpendapat seperti ini adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf dan diikuti oleh jumhur kaum muslimin.

Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
  • Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
  • Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
  • Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
  • Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
Wallahua’lam

0 comments

Post a Comment