Assalamualaikum
Ustadz, saya ingin bertanya tentang
hukum onani, benarkah haram ? Lantas, adakah kondisi yang membolehkannya ? +62852500009XX, Hamba Allah, Luqman, Suwanto
– Kaltim.
Jawaban
:
Sebenarnya,
masalah hukum onani telah kami bahas di
edisi yang telah lalu. Tetapi, berhubung yang menanyakannya kembali kelewat
banyak, untuk itu kami merasa perlu untuk memuatnya kembali.
Onani
atau maturbasi merupakan satu istilah untuk menyatakan kegiatan yang dilakukan
seseorang dalam memenuhi kebutuhan seksualnya, dengan menggunakan tangan maupun
dengan menambahkan alat bantu untuk memenuhi hasyrat seksualnya. Yang dalam
bahasa fiqih dan arab dikenal dengan istilah istimna' atau Jildu dan Umairah.
Para
ulama sepakat untuk mengharamkan Onani
atau istimna', dengan berbagai dalil yang mereka kemukakan. Salah
satunya adalah ayat Al Quran berikut ini: “Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.Barang siapa
mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
(Al-Mukminun : 5-7)
Penjelasan
panjang lebar tentang ayat tersebut dan korelasinya terhadap hukum onani dapat
kita simak dalam tafsir Ibnu Katsir surah al Mukminun.
Sedangkan
dalam hadits kita temukan hadits Rasulullah Saw
yang menyebutkan, bahwa barang siapa yang belum sanggup untuk
menikah maka berpuasalah. Dan Rasulullah saw tidak menyebutkan : barang siapa yang
belum sanggup untuk menikah maka masturbasilah ! Kalaulah masturbasi
itu mubah, tentu beliau Saw akan membolehkan hal tersebut sebagai sarana umat meredam
gejolak syahwat sebelum nikah. Ternyata tidak, Malahan Rasulullah
Saw langsung memerintahkan kepada hal yang berat yaitu puasa. Maka ini dengan
jelas menunjukkan keharaman masturbasi.
Dalam salah satu kaidah ushul dikatakan : takhirul bayan ‘anil waqtil hajah ghairu
ma’dzun bihi (tidak diperbolehkan mengakhirkan penjelasan ketika
diperlukannya penjelasan itu)
Jumhur
ulama mengharamkan masturbasi/ onani
Imam syafi’i rah. Berkata : Tidak dihalalkan ‘bermain’ dengan alat kelamin, kecuali dengan istri atau hamba sahaya mereka. (Al Umm,hal. 138)
Adapun onani dengan tangan, adalah
haram menurut jumhur (mayoritas) ulama, dan itu adalah yang lebih benar di
antara dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad, dan bagi yang melakukannya wajib
di ta’zir (didera). (Majmu’ al Fatawa, 9/178)
Dalam kitab subulus salam
cetakan darul hadist –kairo- jilid 3 dalam kitab nikah dikatakan : Pengikut madzab
maliki berpendapat dalam hal pengharaman masturbasi. kalau seandainya istimna’
itu mubah hukumnya, tentunya sudah dianjurkan untuk melakukannya, karena
istimna’ itu adalah perkara yang mudah
(nikmat red).
Dalam kitab Fathul bari,
Jilid ke 9 kitab nikah hal 10
juga menjelaskan masalah hukum onani ini dengan panjang lebar.
Dan
ada sebuah hadits yang secara terang-terangan menyebutkan tentang haramnya
istimna''. Yaitu : “Menikahi tangan (onani) adalah perbuatan terlaknat.”
Meskipun
hadits ini dihukumi oleh sebagian ulama sebagai hadits yang tidak ada dasarnya
(laa ashla lahu) tetapi telah dijadikan tarhib (ancaman) oleh ulama dalam
kitab-kitab mereka.
Namun
meskipun onani dihukumi haram, tetapi statusnya masih lebih ringan dari pada
zina. Ibnu Abbas ra. Di datangi oleh seorang pemuda yang belum menikah. Pemuda
itu menyatakan bahwa suatu saat dirinya dilanda nafsu seksual yang sangat
hebat. Sampai akhirnya dia menggesek-gesekkan kemaluannya hingga terjadi inzal
(ejakulasi). Ibnu Abbas kemudian berkomentar, "Hal itu lebih baik dari
zina."
Sehingga
kemudian ulama' memberikan jalan bolehnya seseorang untuk beronani bagi mereka
yang dalam kondisi kritis karena godaan zina yang ada didepan mata.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata : Dikutip dari sekelompok sahabat dan tabi’in,
bahwa mereka memberikan rukhshah (keringanan) dalam hal ini jika
dharurat : misalnya jika dia takut berzina, dan dia tidak mampu mencegahnya
kecuali dengan onani, atau misalnya orang yang takut jika tidak melakukannya
maka dia akan sakit, dan ini adalah pendapat Ahmad dan selainnya. Sedangkan
jika tidak ada dharurat, maka saya tidak mengetahui satu pun ulama yang
memberikan rukhshah (keringanan). (Majmu’ al Fatawa, 9/178)
Wallahu'alam.
0 comments
Post a Comment