Assalamu’alaikum
Wr Wb.
Bapak
pengasuh, sebenarnya, batal ataukah tidak bersentuhan dengan lawan jenis tanpa
lapis ?
Abdullah – Sangatta.
Jawaban
:
Ulama
berbeda pendapat tentang masalah hukum bersentuhan kulit antara lelaki dengan
wanita ajnabi (asing)-termasuk istrinya-, apakah hal ini termasuk diantara pembatal
wudhu atau tidak. Sumber perbedaan pendapat ini dikarenakan perbedaan
penafsiran dikalangan ulama terhadap ayat yang berbunyi : “Atau kalian
menyentuh wanita.” (An-Nisa : 43)
Yakni,
apakah makna lafadz ‘al-lams’ (menyentuh) pada ayat tersebut bermakna majaz
atau haqiqi.[1]
Jumhur
ulama mazhab (Hanafi, Maliki, dan Hanbali) menafsirkan bahwa kata ‘menyentuh’
dalam ayat tersebut adalah bahasa majasi yang berarti jima’. Adapun kalangan
shahabat yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Abbas ra. Sedangkan dari
kalangan tabi’in yakni Asy Syaibani, Thawus, Hasan Al Bashri, ‘Atho’ dan
lainnya.[2]
Dalil
dari pendapat ini adalah makna kata sentuhan sudah umum diketahui oleh bangsa
arab, yakni apabila digandengkan dengan wanita, maka maknanya adalah jima’ itu
sendiri. Dan hal ini diperkuat pula oleh hadits-hadits riwayat ummul mukminin
Aisyah radhiyallahu’anha.
Hadits-haditsnya yaitu :
A. Ummul
Mukminin Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah Saw hendak menunaikan shalat,
saya pernah duduk dihadapannya seperti jenazah, hingga apabila beliau hendak
witir beliau menyentuh saya dengan kakinya.” (An-Nasai)
Menurut Ibnu Hajar isnad hadits
ini shahih[3]
B. Beliau
juga berkata, “Pada suatu malam, saya mendapati Rasulullah Saw tidak ada
ditempat tidur. Lalu saya mencarinya dan saya memegang telapak kakinya dengan
tangan saya pada waktu beliau berada di dalam masjid…” (HR. Muslim).
Hadits ini menurut penilaian at
Tirmidzi adalah shahih.[4]
C.
Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mencium sebagian istrinya, lalu ia pergi shalat dan tidak berwudhu. Seorang
perawi (‘Urwah) berkata pada ‘Aisyah, “Bukankah yang dicium
itu engkau?” Setelah itu ‘Aisyah pun tertawa.
Hadits ini diriwayatkan oleh
imam Ath Thobari dan beliau menshahihkan haditsnya.[5]
Sedangkan
Syafi’iyyah menafsirkan kata ‘menyentuh’ pada ayat diatas dengan makna
dzahirnya. Dalilnya adalah arti sebenarnya dari segi bahasa bagi kata mulamasah
(menyentuh). Dan hadits-hadits riwayat
Aisyah menurut mereka tidak bisa
diterima karena dipandang bersetatus
dhaif.[6]
Sebagian
riwayat mengatakan ini pula pendapat[7] Ibnu
Mas’ud dan Ibnu Umar .
Sebagian Syafi’iyyah bahkan mengatakan sentuhan Nabi terhadap istri beliau adalah kekhusussan bagi beliau. Namun, pengandaian ini dianggap sebagai sesuatu yang terlalu dipaksakan dan banyak ditentang oleh ulama bahkan dari kalangan syafi’iyyah sendiri.[8]
Demikian
perbedaan penafsiran ulama tentang ayat diatas, adapun dalam penyimpulan
hukumnya, berikut pendapat 4 mazhab :
Hanafiyyah
Menurut
mazhab ini, sentuhan dengan lawan jenis mutlak tidaklah membatalkan wudhu, baik
karena syahwat ataupun tidak.[9]
Malikiyyah
dan Hanabilah
Menurut
kedua mazhab ini menyentuh lawan jenis tidaklah membatalkan wudhu, asalkan
tidak diiringi dengan syahwat. Tetapi bila sentuhan itu karena syahwat, maka
wudhunya menjadi batal.[10]
Syafi’iyyah
Mazhab
ini menetapkan sentuhan seseorang dengan wanita ajnabi yang bukan mahram, baik
diiringi dengan syahwat atau tidak, maka hal tersebut membatalkan wudhu.
Meskipun
yang disentuh adalah jenazah, atau wanita yang sudah tua. Namun, apabila yang
disentuh adalah rambut, gigi atau kuku, maka hal tersebut tidaklah membatalkan
wudhu.[11]
Demikian
perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini. Silahkan kita memilih pendapat
yang kita yakini sebagai pendapat yang paling tepat, tanpa disertai sikap
menyalahkan dan merendahkan pendapat yang berbeda.
Adapun
menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan penulis kitab Fiqh Islami wa
Adillatuhu, yakni Syaikh Wahbah
Zuhaili, mereka memandang bahwa pendapat
yang menyatakan hanya sentuhan yang disertai syahwat saja yang membatalkan
wudhu sebagai pendapat yang paling rajih (kuat) dan moderat.[12]
Wallahu
a’lam.
[1] Bidayatul Mujtahid, 1/34-35.
[2] Fiqh Islami wa Adillatuhu, 1/368,
Tafsir Ath Thabari, 8/389.
[3] Nailul Authar,1/196.
[4] Nasbur Rayah,1/75.
[5] Tafsir Ath Thabari, 8/396.
[6] Fiqh Islami wa Adillatuhu, 1/369.
[7] Tafsir Ath Thabari (Jaami’ Al Bayan fii Ta’wilil Qur’an),
8/393, Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[8] Fiqh Islami wa Adillatuhu, 2/369.
[9] Ibanatul
Ahkam Syarh Bulughul Maraam,1/ 129.
[10]Fiqh Islami wa Adillatuhu, 1/369,
(Al muntaqa Syarh Al Muwaththa', 1/271)
[11] Fiqh Islami wa Adillatuhu, 1/369, Kitab
Al-umm, I /54-55.
[12] Fiqh Islami wa Adillatuhu,
1/370.
0 comments
Post a Comment