Lantas
bagaimana dengan pelaksanaan jum’at di
tempat kerja semisal pertambangan batu bara ?
Jawaban :
Dalam hal
ini tentu akan ada dua jawaban yang
berbeda, yaitu antara yang mengesahkan shalat jumatnya dengan yang
tidak.
Golongan yang berpendapat
bahwa shalat jum’at di
tambang tidak sah, adalah dengan pertimbangan bahwa shalat jum’at tidak
boleh
dikerjakan berbilang di suatu tempat, dan juga karena tempat
kerja –
termasuk daerah pertambangan – tidak memiliki penduduk tetap (mustautin)
sehingga tidak wajib jum’at.
Sedangkan yang
memandang sah, adalah mereka
yang mempertimbangkan mashlahah dan kondisi sekarang ini. Luasnya
pembangunan,
banyaknya manusia yang mustahil untuk dikumpulkan dalam satu masjid, dan
kebutuhan mereka untuk mempermudah melaksanakan shalat jumat.
Ibnu Rusyd berkata
: semua persyaratan
(shalat jum’at) ini merupakan hal-hal
yang tampak mempersulit, sedangkan agama Allah itu mudah.[21]
Orang-orang yang berada ditambang
kalau toh mereka orang yang mendapat rukhsah (keringanan) untuk
tidak
shalat jum’at seperti halnya musafir,
apa salahnya kalau mengerjakan kewajiban jum’at ? Kalau
kaum wanita saja yang hadir shalat
jum’at tidak perlu shalat dzuhur lagi, apalagi kaum lelaki yang hanya
karena
satu dan lain hal yang masih diikhtilafkan ?
Kaum yang tertimpa
hujan deras, hujan
salju, banjir lumpur ataupun musafir adalah mereka yang tidak wajib
jum’at.
Namun, bila orang-orang tersebut hadir shalat berjama’ah jum’at, mereka
mendapatkan pahala, sebab mereka bisa mengatasi kesulitan. Shalat jum’at
mereka
tetap sah menurut ijma’ ulama. Sebab, jika seseorang yang tidak memiliki
alasan
untuk meninggalkan shalat jum’at saja mendapat pahala, apalagi
untuk orang yang memiliki alasan
untuk meninggalkannya tetapi tetapi tetap melakukannya, tentu lebih
berhak
terhadap pahala. Adapun alasan dia dibebaskan dari shalat jum’at adalah
demi keringanan untuknya.
Lagi pula, bila
kita memegang pendapat tidak sahnya Jum’at karena berbilang, harus
diingat,
bukan saja mereka yang shalat jum’atnya di tambang yang tidak sah,
tetapi juga
sebagian besar praktek shalat jum’at kaum muslimin di dunia adalah tidak
sah. Mengapa
? Karena hampir tidak ada sekarang ini satu negeri kaum muslimin yang
mampu mempraktekkan
pelaksaan satu jum’at di satu tempat.
Dan apabila
tidak sahnya jumat lebih disebabkan karena tidak adanya penduduk yang
menetap
diarea kerja, (mustautin) inipun masih butuh penjelasan lagi.
Karena
bila kita lihat para ulama mazhab juga mensyaratkan ahlu jum’ah yang
penduduk
setempat dengan bilangan yang berbeda-beda. Ada yang mensyaratkan 40
orang, 12
orang, 4 orang sampai ada yang mensyaratkan cukup 2 orang saja.[22]
Pertanyaannya, apa iya benar-benar tidak ada orang di tempat
kerjaan
yang menetap disitu meski cuma dua orang ? Semisal security dan penjaga
masjid
tambang ?
Lagi pula
perdebatan ulama tentang tidak wajibnya orang yang bukan mustautin
adalah dalam upaya memudahkan, agar mereka tidak payah mendatangi tempat
shalat
jum’at padahal mereka berada jauh dari
kota. Lantas kenapa sekarang menjadi perkara yang mempersulit ?
Lagi pula apa
sudah mutlak seseorang yang tidak tinggal di suatu tempat tetapi tinggal
hanya
berjarak beberapa kilo, kemudian jumatan ditempat tersebut di vonis
bukan mustautin
(penduduk setempat) ?
Bukankah
karyawan-karyawan tersebut ada yang rumahnya begitu dekat dengan tambang
? Dan
tentu tidak bisa disamakan kasusnya dengan orang-orang badui yang
benar-benar
nomaden (suka berpindah-pindah).
Inilah yang
kemudian menjadi pertimbangan para ulama kontemporer mengesahkan shalat
jum’at
para karyawan yang jumatan di tempat kerjanya.
4.
Rukun Khutbah
Ulama
berbeda pendapat dalam menetapkan rukun
khutbah, berikut pendapat mereka yang kami nukil dari beberapa kitab[23].
a)
Hanafiyyah
Mazhab Hanafi berpendapat
bahwa rukun khutbah
hanyasatu hal, yaitu dzikir secara mutlak, baik panjang maupun pendek.
Menurut
Mazhab ini bahkan bacaan tahmid,
atau tasbih, atau tahlil, sudah cukup untuk
menggugurkan kewajiban khutbah. Mazhab ini tidak mengharuskan khutbah
dalam
bahasa Arab, bisa dengan bahasa apapun yang dipahami.
b)
Malikiyyah
Rukun
khutbah menurut mazhab ini juga hanya satu, yaitu ungkapan yang
mengandung basyiran
(kabar gembira) dan nadziran (peringatan). Mazhab ini berpendapat
bahwa
keseluruhan khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab. Jika tidak ada
yang
mampu menggunakan bahasa Arab maka kewajiban salat Jum’at gugur untuk
dilaksanakan.
c)
Syafi’iyyah
Rukun
khutbah Jum’at dalam mazhab
ini ada lima, yaitu :
1.
Memuji kepada Allah (Dengan membaca kalimat ‘al-hamdulillah’ atau
semisalnya,
dalam setiap khutbah pertama dan kedua.
2.
Membaca shalawat untuk Nabi Muhammad saw dalam setiap khutbah,
3.
Berwasiat untuk melakukan ketakwaan dalam setiap khutbah (pesannya :
“ittaqullah, atau athi’ullah, atau ushikum bitaqwallah, dan atau
semisalnya”)
4.
Membaca satu atau sebagian ayat al-Qur`an.
5.
Doa untuk kebaikan dan ampunan bagi orang-orang beriman pada khutbah
kedua.
Menurut
mazhab
ini, semua rukun tersebut harus disampaikan dalam bahasa Arab, adapun
pesan-pesan
lain yang tidak termasuk rukun bisa disampaikan dengan bahasa yang
dipahami
oleh jamaah.
d)
Hanabilah
Mazhab
Hanbali, memiliki rukun khutbah yang
sama dengan mazhab syafi’i, hanya tidak menyertakan syarat kelima, yakni
: Doa
untuk kebaikan dan ampunan bagi orang-orang beriman pada khutbah kedua.
Mazhab
ini juga berpendapat bahwa khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab
bagi
yang mampu. Bagi yang tak bisa berbahasa Arab maka menggunakan bahasa
yang
dimampui, khusus untuk ayat al-Qur`an tidak boleh digantikan dengan
bahasa
lain.
5.
Syarat-syarat
Khutbah yang disepakati
I.
Dikerjakan
pada waktu dzuhur. Jumhur ulama sepakat menetapkan khutbah dikerjakan
diwaktu
dzuhur, kecuali sebagian pengikut mazhab Hanabilah/Hanbali.[24]
II.
Dikerjakan
sebelum shalat. Ulama sepakat bahwa khutbah harus dilaksanakan sebelum
shalat
jum’at.[25]
III.
Dihadiri
jama’ah. Ulama sepakat bahwa khutbah baru sah bila dikerjakan dengan
syarat
adanya jama’ah.[26]
Hanya mereka berbeda pendapat tentang batas minimal jama’ah tersebut.
Lihat
pembahasannya di bab yang yang telah lalu.
IV.
Terdengarnya
suara.[27]
V.
Beriringan
antara dua khutbah, antara rukunnya, dan antara shalat. Ulama
sepakat bahwa hal-hal tersebut harus
saling beriringan, tidak boleh dipisah dengan sebuah pekerjaan tententu
yang
ghalibnya dianggap sebagai jeda.[28]
Hanya Abu Hanifah yang
agak sedikit longgar dalam memaknai jeda. Dalam mazhab ini yang dilarang
hanya
memisahkan hal diatas dengan hal aneh seperti makan dan bepergian.
6.
Sunnah-sunnah
khutbah yang disepakati
I.
Berkhutbah
diatas mimbar. Dan apabila mengikuti sunnah, mimbar diletakkan sebelah
kanan
mihrab (tempat shalat imam), diletakkan di tempat yang tinggi, agar bisa
lebih
di dengar jama’ah.
Mimbar Rasulullah Saw
terdiri dari 3 tingkat, selain tingkat untuk istirahat. Dianjurkan
khatib
berdiri di tingkat berikutnya, seperti yang dilakukan Nabi Saw. Namun,
bila
tidak ada tempat, sudah mencukupi dengan bersandar pada papan atau kayu,
seperti yang pernah dilakukan Nabi Saw sebelum ada mimbar.
II.
Duduk diatas
mimbar sebelum memulai khutbah.[29]
III.
Khatib
menghadapkan wajahnya kepada jama’ah.[30]
Sebagaimana yang
diriwiwayatkan oleh ibnu Majah dari ‘Adiy
bin Tsabit, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “ Rasulullah Saw
jika
berdiri diatas mimbar, beliau menghadapkan wajahnya ke arah jama’ah.”
IV.
Adzan ketika
khatib telah berada di mimbar.[31]
Di dalam hadits
disebutkan : “Adzan pada hari juma’at dikumandangkan ketika
khatib berada diatas mimbar. Ini yang dilakukan dimasa
Rasuullah Saw, Abu
bakar dan Umar.” (HR. Mutafaqqun ‘alaih)
V.
Memendekkan
khutbah, dan khutbah kedua lebih pendek dari khutbah pertama.[32]
VI.
Bersandar pada
busur panah, pedang atau tongkat. Hal ini sunnah menurut jumhur ulama,
sedangkan menurut imam Malik hukumnya dianjurkan.[33]
Diriwayatkan dalam sebuah
hadits riwayat Hakam bin Hazan, ia
berkata, “... Dalam khutbahnya beliau (Nabi Saw) berdiri sambil
bersandar
diatas pedang, busur pernah, atau tongkat.(HR. Abu Dawud)
7.
Perkara
Khutbah yang diikhtilafkan antara sunnah
atau syarat
khutbah
Berikut ini beberapa perkara
yang diperselisihkan
oleh para ulama, ada yang menganggap sebagai bagian dari syarat Sah
Khutbah,
sedangkan yang lainnya menganggap hanya sebagai perkara sunnah, ada juga
yang
hanya berbeda pendapat dalam tata caranya.
I.
Berdiri
ketika khutbah
Berdiri ketika berkhutbah
sunnah dalam mazhab
Hanafi, Hanbali, dan sebagian pengikut mazhab malikiyah. Tetapi dalam
mazhab
Syafi’i dan jumhur mazhab Maliki dipandang sebagai syarat khutbah.[34]
II.
Duduk
diantara dua khutbah dengan tumakninah
Dalam
mazhab Syafi’i hal ini dipandang sebagai
syarat Khutbah, tetapi jumhur ulama mazhab menghukuminya sunnah.[35]
III.
Menututp
aurat, suci pakaian, badan dan tempat dari hadats dan najis.
Hal ini
dipandang sebagai kesunnahan khutbah oleh
mayoritas ulama. Tetapi merupakan syarat sahnya khutbah menurut
syafi’iyyah.[36]
IV.
Mengucapkan
salam
Mengucapkan salam sunnah
adalah sunnah menurut Syafi’iyyah
dan Hanabilah ketika khatib naik ketas mimbar, sedangkan menurut
Malikiyyah dan
Hanafiyyah kesunnahan salam adalah ketika khatib selesai berkhutbah.[37]
V.
Khatib
memasuki masjid setelah masuk waktu
Syafi’iyyah
berpendapat termasuk kesunnahan yaitu
khatib masuk masjid setelah masuk waktu, dan yang dituju adalah mimbar
untuk
khutbah.[38]
8.
Hal
yang dimakruhkan ketika Khutbah
Kemakruhan
khutbah yang disepakati oleh para ulama
adalah meninggalkan kesunnahan- kesunnahan khutbah, yang tentunya dengan
pendapat masing-masing.[39]
Wallahu
Ta’ala A’lam
Al
Faqir ilallah ; Ahmad
Maraji’ :
1.
Al Quran al
Karim.
2.
Shahih Bukhari,
Imam al Bukhari, Rihlan : Indonesia.
3.
Fath al bari,
Al Hafidz Ibn Hajar al Asqalani, Dar al Kutub al Ilmiyah : Beirut,1424
H.
Cetakan ke empat.
4.
Sunan Ibn Majah,
Ibnu Majah, Maktabah al ma’arif :
Riyad,1429 H KSA.
5.
Sunan An Nasa’i,
An Nasa’i, Maktabah al Ma’arif : Riyadh, 1429 H, cetakan kedua.
6.
Sunan At
Tirmidzi, At Tirmidzi, Dar Ibn al Jauzi ; Kairo,1432 H ,
cetakan
pertama.
7.
Sunan Abu
Dawwud, Abu Dawwud, Dar Ibn al Jauzi : Kairo, 1432 H,
cetakan
pertama.
8. Al Mausu’ah
Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, Wazirah al Auqaf
wa Assyu,un al Islamiyah : Kuwait, 1412 H, cetakan
pertama.
9. Al Fiqh ‘ala
Mazhab al ‘Arba’ah, Syaikh
‘Abdurrahman al Jaziri, Darul Fikr :
Beirut, 1422 H, cetakan pertama.
10. Fiqh al
Islami Wa
Adilatuhu, Syaikh Wahbah
Zuhaili, Darul Fikr : Beirut, 1429 H, Cetakan
ke enam.
11. Fiqh al Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq, Darr Ibn
Katsir : Beirut,
1428 H, cetakan ke dua.
12. Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
Ibn Rusyd, Darul Kutub al ‘Ilmiyah :
Beirut, 1428 H,cetakan ke empat.
13. Majmu’
al Fatawa,
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, al Maktabah Taufiqiyyah : Mesir. Tanpa
Tahun
14. Al-Minhaj, al Maktabah Syamilah
15. Nailul
Authar, imam
As Syaukani, al maktabah Syamilah
16. Al
Mughni, al
Imam Ibn Qudamah, al Maktabah Syamilah
17. Fatawa
Al-Lajnah
Ad-Da’imah ,
al Maktabah Syamilah
18. Syarh al Shaghir, al
Maktabah Syamilah
19. Bulughul Maram, al Hafidz Ibnu Hajar al
asqalani, Dar al Kutub al Ilmiyah : Beirut. 1428 H. Cetakan kedua.
20. Subulus Salam, al Imam as Shan’ani, Dar
al Kutub al Ilmiyah : Beirut. 1424 H. Cetakan kedua.
[1]
Lihat al Mausu’ah Fiqhiyyah al
Kuwaitiyyah, 27/193 ; Al Fiqh
‘ala Mazhab al ‘Arba’ah, 1/322 ; Fiqh al Islami Wa Adilatuhu,
2/233
; Fiqh al Sunnah, 1/285.
[2]
Ibnu Rusyd
mengatakan bahwa wajibnya jum’at adalah pendapat jumhur, bukan ijma’,
karena
ada yang berpendapat hukum shalat jum’at
adalah fardhu kifayah, bahkan ada pula yang menganggapnya sunnah.
Meskipun beliau sendiri (Ibnu Rusyd) mengatakan pendapat-pendapat ini
sebagai
pendapat yang aneh. (Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
2/326)
[3]
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al Fatawa, juz 24 halaman 94 -97, al
Maktabah
Taufiqiyyah.
[4]
Namun kekufuran
yang dimaksud –menurut pendapat jumhur ulama- bukanlah kekafiran yang
mengeluarkan dari keimamanan. (Tharhut Tatsrib, 1/324-325)
Namun
ada sebagian ulama seperti
Abdullah bin Mubarak, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Hubaib dan jumhur ulama
madzab
Maliki berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat terus menerus
dengan
sengaja, walaupun ia tidak menentang kewajiban shalat. Pendapat ini juga
diriwayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Al-Hakam bin
‘Uyainah radhiyallahu ‘anhum.. (Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj 2/257,
Nailul
Authar, 2/403)
[5]
Fiqhul
Islami wa Adilatuhu, 2/245.
[6]
Abdullah
bin Saidab as-Sulamy ra. Berkata : Aku
pernah mengikuti shalat Jum’at bersama Abu Bakar ra. Pada
waktu itu khutbahnya dilaksanakan
sebelum masuk tengah hari...” (HR.
Daruquthni dan Ahmad)
[7]
Lihat
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 1/154 ; Fiqhul Islami wa
Adilatuhu,
2/254 ; Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 27/201 ; Fiqh
‘ala Mazhabil ‘Arba’ah, 326-327.
[8]
Fiqh al
Islami Wa Adilatuhu, 2/248.
[9]
Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah,
27/202 ; al Majmu al Anhar, 1/ 164.
[11]
Syarah as
Shagir, 1/499 ; Al mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 27/202 ;
Ad
Dasuqiy, 1/378.
[12]
Pendapat kedua mazhab ini bisa kita temukan di : Al
mausu’ah
Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah,27/202 ; Al Mughni, 2/272 ;
[13]
Fiqh Islami
wa Adilatuhu, 2/251.
[14]
Ad Dur al Mukhtar , 2/ 42-44, Fiqh
Islami wa Adilatuhu, 2/253.
[15]
Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 1345.
[16]
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah 8/195.
[17]
Fiqh Islami wa Adilatuhu, 2/250.
[18]
HR.
Bukhari,
Fiqh
Islami wa Adilatuhu, 2/250.
[19]
Lihat Fatawa Lajnah Da’imah, 8/265 ; Ad
Dur al
Mukhtar
, 2/ 42-44 ; Fiqh Islami wa Adilatuhu, 2/253 ; Imam
Syarkhasi juga menyatakan madzhab Abu Hanifah yang benar adalah
membolehkan shalat Jumat dalam satu daerah/ kota lebih dari satu masjid (Hasyiyah
Raddil
Mukhtar, 2/156).
[20]
Fiqh Islami
wa Adilatuhu, 2/247.
[21]
Bidayatul
Mujatahid wa Nihayatul Muqtashid, 2/336.
[22]
Yang menyatakan cukup dua orang adalah imam
Thabari, (Bidayatul Mujatahid wa Nihayatul Muqtashid) 2/334.
[23]
Lihat Fiqh
al Islami wa Adilatuhu, 2/255 – 260 ; Fiqh ‘ala Mazhab al
‘Arba’ah, 1/334
-335 ; Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,2/339 ; Al Mausu’ah
Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/177 -178.
[24]
Al Mausu’ah
Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/178.
[25]
Ibid.
[26]
Ibid.
[27]
Al Mausu’ah
Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/179.
[28]
Ibnu
‘Abidin, 1/543. Nihayatul Muhtaj, 2/ 304. Al Mausu’ah
Fiqhiyyah
al Kuwaitiyyah, 19/180,
[29]
Al Mausu’ah Fiqhiyyah
al Kuwaitiyyah,
19/181.
[30]
Ibid
[31]
Ibid
[32]
Ibid
[33]
Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah,
19/182.
[34]
Nihayatul
Muhtaj,2/306, Syarh as Shaghir, 1/499.
[35]
Thahawi,280
; al Mughni, 2/303.
[36]
Hasyiah At
Thahawi, 280. Nihayah al Muhtaj,
1/311. Al Mughni, 2.307. Al Majmu’
Syarh al Muhadzab, 4/515.
[37]
Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah,
19/184.
[38]
Al Majmu’ Syarh al Muhadzab, 4/529.
[39]
Fiqh al
Islami wa Adilatuhu,
2/268.
0 comments
Post a Comment