SYARIAT ADZAN 1



SYARIAT ADZAN

Bapak pengasuh yang saya muliakan, mohon agar dijelaskan kepada kami tata cara dan sunnah-sunnah adzan. Karena saya lihat sudah banyak muadzin yang meninggalkan tuntunan beradzan yang sesuai sunnah. Hamba Allah - Kaltim

Jawaban :

Kedudukan adzan dalam Islam, selain sebagai ibadah, juga termasuk dari syiar agama. Dengan terdengarnya kumandang adzan disuatu tempat, paling tidak sudah membuat orang maklum bahwa disitu ada orang islam. Kalimat-kalimatnya adalah mutiara tauhid dan keimanan yang sangat dahsyat. panggilan menuju kepada kertaatan yang paling utama. Yang mana, terkadang adzan dapat menggetarkan hati hamba yang bening.
Berikut ini penjelasan kami tentang tuntunan adzan, mengingat keterbatasan halaman buletin pembahasan akan kita bagi menjadi dua bahasan, yakni : Syariat  Adzan, dan di edisi selanjutnya tuntunan adzan dan sunnah-sunnahnya.


 A.   Pengertian Adzan
Arti adzan menurut bahasa adalah al-I’laam (memberi tahu). Arti ini dapat dilihat dari firman Allah k,
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ

 “Dan satu maklumat dari Allah dan Rasul-Nya kepada Umat manusia...” (At-Taubah: 3)
Dan firman_nya pula,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ
 “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji...” (Al-Hajj: 27)

Sedangkan Adzan menurut istilah syara’ adalah : gabungan perkataan tertentu yang digunakan untuk mengetahui waktu shalat fardhu.[1] Atau terkadang didefinisikan sebagai pemberitahuan tentang waktu shalat dengan lafazh-lafazh tertentu.[2]

B.   Fadhilah Dan Adzan

Adzan memiliki keutamaan dan pahala yang sangat besar bagi mereka yang mengerjakannya. Maka tidak sepantasnya seorang muslim, yang memiliki kesempatan untuk beramal dengan malan ini, lantas ia menyia-nyiakannya (tidak melakukannya).
 Berikut hadits-hadits yang menyebutkan akan hal ini :

Rasulullah y bersabda,



“Kalaulah orang-orang mengetahui yang ada dalam adzan dan pahala yang terhadap barisan pertama shalat, kemudian mereka tidak ada jalan lain untuk mendapatkannya selain dengan cara undian, niscaya mereka akan melakukan undian itu. (Mutafaqqun ‘Alaih)

Rasulullah SAW juga bersabda, “Jika kamu berada bersama-sama dengan kambingmu atau sedang berada dikebunmu dan engkau beradzan untuk shalat, hendaklah engkau mengeraskan suaramu untuk menyeru orang shalat. Sebab suara adzan seorang yang didengar oleh jin atau manusia atau sesuatu apapun, maka mereka akan menjadi saksinya di yaumul akhir.” (HR. Bukhari)

Dalam sebuah hadits yang lain juga disebutkan, “Tukang Adzan adalah yang paling panjang lehernya di Akhirat.” (HR. Muslim)

Menurut pendapat ulama’ madzhab Syafi’i dan Hanbali, melakukan adzan dan iqamat adalah lebih utama daripada menjadi imam.[3] Hal ini didasarkan kepada ayat : “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebaikan,...” (Fusshilat:33)
Sayyidah Aisyah r.a berkata, “Mereka yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah mu’adzin.”
Sedangkan menurut pendapat ulama’ Hanafi, menjadi imam adalah lebih utama daripada adzzan. Sebab, Nabi Saw dan para khalifahnya menjalankan tugas imam, tetapi mereka tidak menjalankan tugas menjadi muadzin.[4]

C.   Hukum Adzan
Al-Quran, As-Sunnah, dan al-Ijma’ menyatakan bahwa adzan disyariatkan dalam agama.[5] Namun ulama berbeda pendapat tentang hukum adzan, apakah ia wajib atau sunnah. Jumhur ulama mahzab berpendapat bahwa adzan hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan).[6]
Dari kalangan Malikiyah ada dua riwayat, riwayat pertama mereka berpendapat hukumnya wajib atas masjid jami’ (raya) sedangkan riwayat kedua mengatakan madzab ini hanya memandangnya sebagai sunnah muakkadah.[7]
Dalil yang menunjukkan bahwa adzan hukumnya sunnah muakkadah adalah sebuah hadits yang berbunyi : “Kalaulah orang-orang mengetahui pahala yang ada pada adzan dan shaf pertama, niscaya mereka akan mengundi.” (Mutafaqqun ‘Alaih)

D.   Syarat-Syarat Adzan
Adzan memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana halnya ibadah lainnya. Apabila syarat- syarat tersebut tidak sempurna, maka adzan tidak akan sah. Berikut syarat sah adzan yang kami ringkaskan dari beberapa kitab,[8] yakni :

i. Yang disepakati
1. Masuk waktu
Semua ulama  mengenai syarat ini, maka adzan yang dilakukan sebelum waktunya adalah haram dan tidak sah dilakukan. Jika sudah dilakukan, maka hendaknya adzan itu hendaknya di ulangi lagi setelah masuk waktunya.
Adapun adzan yang dikerjakan diawal waktu shubuh, adalah hal lain, karena ini memang ada tuntunannya dalam sunnah (akan dibahas dalam sunnah – sunnah adzan).

2. Hendaknya dengan bahasa arab

Tidak sah mengumandangkan adzan dengan bahasa selain arab, juga tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai hal ini. Namun, bila adzan itu dikerjakan seseorang untuk dirinya sendiri, dan tidak mengetahui bahasa arab, maka ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai hal ini. Menurut syafi’i boleh melakukannya dengan bahasa lain, tetapi menurut ulama’ madzhab Hanafi dan Hambali tidak boleh sama sekali, karena adzan itu disyariatkan dalam bahasa arab, sama seperti al-Quran.

3. Adzan dan Iqamah harus dapat didengar oleh sebagian jama’ah

Mengumandangkan adzan dengan menperdengarkan kepada jama’ah adalah salah satu syarat adzan dan iqamah. Begitu juga dengan dirinya sendiri jika ia mengumandangkan untuk dirinya. Maka tidaklah sah adzan yang disirrikan atau sengaja tidak diperdengarkan kepada khalayak ramai.

4. Tertib dan Muwaalah (bersambung tidak terputus-putus) diantara lafadz adzan

Adzan disyaratkan harus dikerjakan dengan bersambung, tidak boleh diselingi oleh perkataan dan perbuatan yang lazimnya dipahami sebagai penunda. Demikian pula lafadzanya harus tertib berurutan sebagaimana yang telah dituntunkan. Cara seperti ini yang meikuti Sunnah Rasul seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain.

5.  Adzan mestilah dilakukan oleh seorang saja

Jika adzan itu dilakukan oleh seorang kemudian disambung oleh orang lain maka adzannya tidak sah. Begitu juga jika adzan dilakukan oleh dua orang secara bergantian, yaitu seorang membaca satu kalimat, kemudian di sambung oleh yang lain, ini pula tidak sah. Adapun bila adzan dilakukan oleh sekumpulan orang secara serentak dan setiap orang mengumandangkan dengan sempurna, maka adzan seperti ini menurut pendapat yang rajih (kuat) adalah sah, namun dipandang sebagai perbuatan yang makruh.

6.  Orang yang mengumandangkan adzan hendaklah lelaki muslim yang berakal

Adzan tidak sah bila dilakukan oleh orang kafir, orang gila, anak-anak yang belum mumayyiz, orang ayan, dan orang mabuk. Hal ini disebabkan mereka bukanlah orang yang berkelayakan untuk ibadah. Tidak sah juga adzan yang dilakukan oleh perempuan, karena adzan adalah haram bagi kaum wanita dan adzan juga tidak disyariatkan bagi mereka.[9]
ii. Tidak disepakati
1.    Niat
Berkenaan dengan niat adzan, para ulama cenderung tidak mensyaratkannya. Kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyah dengan tegas menyatakan bahwa niat bukanlah syarat adzan.  Namun menurut sebagian ulama ahli fiqih yang lain, niat termasuk syarat dalam beradzan. Oleh sebab itu, jika seseorang melafadzkan adzan yang tertentu tanpa tujuan adzan, maka adzannya tidak sah.

2.    Suci dari hadats
Jumhur fuqaha tidak mensyaratkan bersuci bagi para muadzain. Mereka juga tidak disyaratkan menghadap qiblat, berdiri, dan juga bercakap-cakap saat adzan. Meskipun demikian, para ulama mengatakan bahwa perkara-perkara itu disunahkan dan patut dilakukan. Menurut jumhur ulama makruh hukumnya adzan yang dilakukan dengan berhadats apalagi junub, demikan juga dengan iqamah. Dan bahkan menurut ulama Madzhab Hanbali bahwa adzan atau iqamat yang dilakukan oleh orang junub harus di ulang.
Mereka yang menghukumi bersuci sebagai syarat adzan , mendasarkan pendapatnya kepada hadits :
«لَا يُؤَذِّنُ إِلَّا مُتَوَضِّئٌ»

“Tidak boleh adzan kecuali orang yang berwudu. (HR. Tirmidzi)[10]

E. Cara Adzan
Ulama sepakat bahwa lafadz adzan adalah disebut dua kali (bagi tiap-tiap kalimatnya) kecuali dua kalimat terakhir. Hal ini berdasarkan riwayat mutawatir yang tidak ada penambahan dan pengurangannya. Mereka juga sepakat dalam adzan shubuh terdapat tambahan “As-Shalaatu khairun minannauum” sebanyak dua kali selepas kalimat “Hayya ‘ala al falaah”.[11]

Adapun mengenai lafadz adzan kami rasa tidak perlu kami cantumkan disini, karena semua sudah ma’fum.
Para ulama’berselisih pendapat mengenai tarji’,  yaitu melafadzkan dua kalimat syahadat dalam adzan secara perlahan, kemudian melafadzkan kedua kalinya secara keras bagi muadzin. Kalangan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengakui, tetapi Hanafi dan Hambali mengingkarinya. Namun ulama Hambali mengatakan, jika tetap dilakukan tarji’, adzannya tidaklah makruh.[12]
Kita cukupi dulu pembahasan tentang adzan disini, insyaallah mendatang akan kita lanjutkan ke bab : sunnah-sunnah dan hal yang makruh dalam adzan.
Wallahu a’lam.



[1] Mughni al Muhtaj (I/133).
[2] Nail al authar (II/31), Kasyf al Qana’ (I/266).
[3] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (I/593).
[4] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (I/594).
[5] Syariat adzan
-          Al Qur’an :

وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
“Dan apabila kamu menyeru untuk shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.”  (QS. Al-Maidah : 58)
-          Sunnah :

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ : قَالَ لَنَا النَّبِيُّ وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ
Dari Malik bin Huwairits a bahwa Rasulullah y bersabda kepada kami, ”Bila waktu shalat telah tiba, hendaklah ada dari kamu yang beradzan.”(HR. Bukhari dan Muslim)
-          Ijma’ : Ulama bersepakat tentang masyu’iyahnya adzan tanpa ada pengingkaran dari seorang pun.

[6] Lihat Fath al Qadir (I/167-178). Durr al Mukhtar (I/356). Asy Syarh al Shaghir, I/133. Al Muhadzab (I/55). Bidayatul Mujtahid (I/103).  Nihayatul Muhtaj, (I/300). Al Majmu’ Syarh al Muhadzab, (III/82).
[7] Bidayatul Mujtahid, (I/160).
[8] Fiqh Islami wa Adillatuhu, al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah, Fiqh ‘ala Mazhab al ‘Arba’ah, Fiqh Sunnah,  Bidayatul Mujtahid,  dan lainnya.
[9] Syarat ini adalah syarat menurut ulama’ Maliki, Syafi’i dan Hambali. Adapun mazhab Hanafi hanya memiliki pendapat yang hampir sama. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa Muadzin yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut hukumnya makruh tahrim dan adzan tersebut sunah untuk diulangi. Berdasarkan pertimbangan ini, maka ulama Hanafi berpendapat orang yang beradzan disunahkan lelaki yang berakal lagi bertaqwa, mengetahui sunnah-sunnah rasul dan waktu shalat. Menurut jumhur, selain Maliki, Muadzin tidak disyaratkan mumayyaiz adalah sah. Meskipun demikian, orang yang adzan disunnahkan orang yang sudah bligh,adil,dan amanah. Syarat adil yang ditentukan adalah hadits riwayat Ibnu Abbas, “Hendaklah orang terbaik diantara kamu yang mengumandangkan adzan...” (HR. Abu dawud dan Thabrani)
[10] Hadits ini lemah. Lihat Subulus Salam (1/192), al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (2/368)
[11]     -   HR. Imam Ahmad (15376) :
وَإِذَا أَذَّنْتَ بِالْأَوَّلِ مِنَ الصُّبْحِ فَقُلْ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ،
“Jika kamu adzan shubuh hendaklah kamu membaca ‘Ash-shalaatu khairun minannauum’ dua kali.” (Imam Ahmad)
-        HR. Abu Daud (500)
فَإِنْ كَانَ صَلَاةُ الصُّبْحِ قُلْتَ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ،
“Maka apabila shalat shubuh, maka katakan: “As-Shalaatu khairun minannauum” 2x.
-          HR. Al Baihaqi (1987)
عَنْ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ: إِذَا بَلَغْتَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ فِي الْفَجْرِ فَقُلِ: " الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ "
Dari Umar a dia berkata untuk para muadzin : apabila sampai kalian pada kalimat ‘hayya ‘ala al falah’ pada adzan shubuh, maka katakan : “As-Shalaatu khairun minannauum” 2x.

[12] Fiqh al Islami wa Adillatuhu, I/601.

0 comments

Post a Comment