Assalamu’alaikum
Wr Wb
Ustadz,saya
ingin bertanya mengenai pelafadzan
niat yang pakai Ushalli dan
seterusnya. Pernah saya mendengar dalam
suatu kajian bahwa itu tidak disyariatkan. Lantas niat shalat yang benar itu
seperti apa ? Syukran. Agus - Pama
Jawaban
:
Niat
menurut bahasa berarti meinginkan sesuatu dan bertekad hati untuk
mendapatkannya.[1] Sedangkan menurut
Istilah Syara, niat adalah tekat hati untuk melakukan amalan fardhu atau
yang lain.[2]
Atau
dalam definisi lain dikatakan : Niat adalah kehendak (Al Iradah)
yang terarah pada sebuah perbuatan untuk mencari ridha Allah Ta’ala
dengan menjalankan hukumNya.[3] Niat adalah sebuah
perkara penting dalam ibadah, yang Rasulullah Saw telah menyatakan tentangnya :
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.” (Mutafaqqun ‘Alaih)
Hukum
Niat Dalam Ibadah
Hukum
niat menurut Jumhur ulama adalah wajib. Dan mereka telah menetapkan bahwa
ibadah seperti wudhu, mandi, tayamum, shalat, Haji, zakat dll. tidak sah tanpa
adanya niat. Yang menyendiri dalam pendapat adalah Abu Hanifah. Menurut beliau,
niat itu hanya pada shalat tidak pada ibadah selainnya semisal wudhu, tayamum
dan lainnya. Namun pendapat ini asing dan lemah, karena bertentangan dengan
nas-nas agama yang menyebutkan pentingnya niat dalam setiap ibadah. [4]
Dalil-dali
tentang wajibnya niat sangatlah banyak, diantaranya adalah firman Allah l :
“Padahal mereka hanya diperintahkan untuk menyembah Allah, dengan ikhlas
menaatiNya.” (Al Bayinah:5)
Imam
al mawardi mengatakan bahwa kata al Ikhlas biasa diartikan oleh orang
arab untuk menunjukkan arti an niyah (niat).[5]
Rasulullah
y bersabda : “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan
sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.
Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya,
maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya
karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” (Mutafaqqun
‘Alaih)
Imam
An Nawawi mengatakan bahwa ini adalah hadits yang agung dan merupakan salah
satu hadits utama yang menjadi sumber ajaran-jaran Islam.[6]
Tempatnya
Niat
Ulama
sepakat bahwa niat tempatnya adalah dihati. Berkata Imam Ibnu
Hajar Al Haitami Al Makki : (Niat itu di
hati) berdasarkan ijma’, dan mesti ada pada setiap amal yang disyariatkan
karena niat adalah maksud, dan tidaklah perbuatan dianggap ada kecuali
dengannya, maka tidaklah mencukupi jika melalaikannya.[7]
Melafazkan Niat
Sebagaimana telah
disebutkan bahwa niat itu tempatnya dihati, lantas bagaimana bila niat itu
dilafadzkan menjadi sebuah kata-kata yang diucapkan ? Semisal ucapan niata
shalat Ushalli shalatan… atau niat wudhu nawaitu wudhu’a liraf’il
hadatsil asghari lillahi ta’ala, dll ?
Lagi-lagi karena ini
adalah masalah furu’ (cabang) agama, ulama berbeda pendapat tentangnya. Di
antara mereka ada yang membid’ahkan, memakruhkan, membolehkan, dan ada
yang menyunnahkan.
Para ulama sebenarnya
sama sepakat bahwa melafazkan niat - seperti lafadz-lafadz yang kita kenal sekarang
ini- tidaklah dilakukan oleh Rasulullah Saw, para sahabat, dan tabi’in, bahkan
imam empat madzhab. Yang mereka perselisihkan adalah mengenai status hukumnya,
sebagian bersikukuh menolaknya sedangkan
sebagian yang lain cendrung membolehkan. Berikut penjelasan masing-masing
kelompok ini.
A.
Kelompok ulama yang
membolehkannya
Jumhur
Ulama mazhab (Syafi’iyah, sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah) cendrung
berpendapat kalau melafadzkan niat
adalah sebuah hal yang dibolehkan bahkan dipandang lebih baik. Argumen mereka
adalah karena pengucapan niat di lisan itu dapat
membimbing hati.[8]
Imam Muhammad bin
Hasan Rahimahullah, berkata : “Niat di hati adalah wajib,
menyebutnya di lisan adalah sunah, dan menggabungkan keduanya adalah lebih
utama.”[9]
Dalil yang digunakan oleh
kelompok yang mendukung pelafadzan niat diantaranya :
1.
Surah Qaf ayat 18.
Allah Swt berfirman : “Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu
perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal
kejelekan.”
Berdasarkan ayat diatas jelas
melafadzkan niat adalah sebuah perkara yang akan dicatat oleh malaikat sebagai
amal kebaikan.
2.
Nabi terkadang melafadzkan niat.
Sebagian hadits menyebutkan bahwa Nabi Saw adakalanya
melafadzkan niat dalam sebuah ibdah ritual. Diantaranya, sebuah riwayat dari Abu bakar Al-Muzani dari Anas ra . Beliau
berkata : “Aku pernah mendengar Rasulullah Saw melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama
sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilanMu ya Allah untuk melaksanakan haji
dan umrah.” (HR. Muslim)
Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa
beliau mendengar Rasulullah Saw bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq :
”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah: “Sengaja
aku umrah di dalam haji”. (HR. Bukhari dan Muslim)
B.
Kelompok ulama
yang memakruhkan
Sebagian ulama dari mazhab Hanafi, Hanbali dan Maliki menyatakan
bahwa melafazkan niat adalah perbuatan makruh. Ia boleh dilakukan namun yang
lebih utama adalah meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka
baginya dianjurkan untuk melafazkannya untuk menghilangkan kekacauan dalam
pikirannya.
Dalilnya
menurut kelompok ini adalah karena tidak ada satupun hadits yang meriwayatkan
bahwa Rasulullah Saw dan juga para salaf melafadzkan niat, apalagi
melazimkannya. Namun demikian mereka memandang melafadzkan niat bukanlah sebuah
bid’ah, karena ia diucapkan diluar ibadah ritual.[10]
C.
Kelompok ulama
yang menolak pelafadzan niat
Sebagian
ulama memandang bahwa pelafadzan niat adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah
Rasulullah Saw. Karena Nabi Saw tidak pernah mencontohkan pelafadzan niat ini,
terkhusus lafadz-lafadznya. Maka menurut "Segala puji bagi Allah.
Menjaharkan dengan lafaz niat tidaklah disyariatkan kelompok ini, hal ini sudah
culup menjadi dalil bahwa melafadzakn niat tidaklah disyariatkan.
Yang
berpendapat seperti ini adalah sebagian ulama kalangan mazhab Hanbali
diantaranya Syaikh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al jauziyah dan jumhur ulama
Saudi.
Imam Ibnu Qayyim Al
Jauziyah Rahimahullah berkata :
“Niat adalah kehendak, dan kemauan kuat untuk
melakukan sesuatu. Letaknya di hati dan pada dasarnya sama sekali tidak terkait
dengan lisan. Karena, hal itu tidak ada dasarnya dari Nabi Saw dan tidak dari
para sahabat tentang pelafadzan, dan kami tidak mendengarnya dari mereka menyebutkan
hal itu.
Kalimat-kalimat
tersebut (niat) adalah hal yang baru (mudats). Syetan telah membuatnya
sebagai medan peperangan bagi orang yang was-was, syetan telah menghalanginya
ketika niat dan menyakitinya, serta menjatuhkan mereka ketika membetulkan niat.
Anda lihat, mereka mengulang-ngulang niat dan memberatkan diri dalam
melafazkannya, padahal itu sama sekali bukan bagian dari shalat, karena niat
itu adalah kehendak untuk melakukan sesuatu.
Maka,
setiap orang yang bertekad untuk melakukan sesuatu maka dia telah berniat,
gambaran itu tidaklah akan lepas dari niat sebab itu adalah hakikatnya. Mana
mungkin menganggap tidak ada niat padahal dia telah mewujudkan
perbuatannya. Barangsiapa yang telah berwudhu maka tentunya dia telah berniat
wudhu, dan barang siapa yang berdiri untuk shalat tentunya dia telah
berniat untuk shalat. Tidaklah diterima oleh orang yang berakal, melakukan
sesuatu dari peribadatan dan tidak pula selainnya tanpa berniat. Maka, niat
adalah perkara yang mesti ada pada setiap perbuatan manusia yang memiliki
tujuan, tanpa perlu lagi bersusah payah dan perdebatan.”[11]
Dalil yang digunakan
oleh kelompok yang menentang pelafadzan niat ini diantaranya adalah :
1.
Tidak ada dalil dalam Al Quran dan As
Sunnah yang menunjukkan pelafazan niat sebelum melaksanakan ibadah. Sedangkan
dalil ayat yang digunakan para pendukung talafuzh niat tidaklah relevan,
aneh, dibuat-buat dan terkesan sangat dipaksakan.
2.
Dalil Hadits yang digunakan oleh
kelompok yang mendukung pelafadzaan niat mereka pandang tidak relefan. Karena riwayat
Nabi Saw yang menjaharkan kalimat talbiyah ketika haji: Labaik
Allahumma labaik … dst, bukanlah niat, tetapi dzikir. Hal ini bahkan
didukung Termasuk kalimat: labaika umratan wa hajjan, atau ucapan
doa nabi hendak menyembelih kambing: bismillahi allahu akbar … dst, juga
ucapan nabi ketika hendak puasa sunah: “kalau begitu hari ini aku puasa ..”
Bagaimana
seharusnya sikap kita ?
Masalah pelafadzan niat yang diikhtilafkan oleh
ulama ini, adalah murni masalah furu’iyah. Bukan area benar salah, tetapi hanya
masalah rajih (pendapat yang kuat) dan marjuh (yang lemah). Bahkan, ini adalah
persoalan yang tidak ‘terlalu urgen’
untuk dibahas lebih jauh. Karena sebenarnya,
ia tidaklah menyentuh esensi masalah sebenarnya, yakni masalah niat.
Niat yang dibahas dalam ibadah adalah perkara yang tempatnya dihati, yang
logika sederhananya, bila perkara yang areanya hati harus membahas area dzahir
seperti lisan, tentu hanya sebuah pembahasan tambahan saja. Lagian perbedaan
dikalangan ulama, hanya sekedar antara yang menganjurkan dengan yang tidak menganjurkannya. Tidak ada yang sampai
tingkat mewajibkan melafadzkan niat atau ada yang mengharamkannya.
Baik
kalangan yang mendukung maupun yang menolak pelafadzan niat, adalah pihak yang sama
– sama ingin beribadah kepada Allah Swt dengan sebaik mungkin. Bahwa kemudian mereka berbeda pandangan, itu adalah
hal yang wajar dan manusiawi. Dan ini tidak perlu dikhawatirkan,karena
perbedaan furu’ (cabang agama) tidak akan berbahaya selama kita santun dan
bijak menyikapinya.
Bagi yang memakai niat yang di lafadzkan,
beramalah dengan niat sewajarnya. Jangan sampai tidak jadi shalat karena tidak
hapal Ushalli-nya.
Bagi yang tidak memakainya, tetaplah berhusnudzan
bahwa saudara kita yang sedang ber-ushalli adalah orang yang ingin memantapkan
niat dihatinnya.
Apa
tidak boleh mencari pendapat yang kuat ?
Bukan tidak boleh membahas masalah khilafiah
(perbedaan pendapat) dengan tujuan mencari pendapat yang kuat. Bahkan ini
dianjurkan. Tetapi satu hal yang harus diingat, minimal seseorang harus
memiliki bekal yang cukup untuk melakukan itu. Karena untuk merajihkan pendapat
satu dari pendapat yang lain, tentu ini bukan kelas lain selain kelas ulama.
Juga yang harus diperhatikan, dimana dan siapa lawan bicara kita. Kan nga
pantas kalau kita ngributkan masalah semisal qunut shubuh ditempat parkiran atau di pangkalan ojek,
bersama orang-orang yang shalat tidaknya saja kita tidak tahu.
Masalah besar juga bisa muncul apabila kita
mengangkat tema sensitif tersebut di tengah jamaah yang heterogen, yang
kebanyakan awam. Meskipun dengan tujuan menggiring kepada pendapat yang lebih
kuat, namun bila caranya dengan dar der dor, yang terkena tembakan tentu tidak
akan terima begitu saja. Malah ini akan memperuncing masalah. Pihak yang merasa
dirinya menjadi pesakitan, tentu akan mati-matian membela pendapatnya, dengan
berbagai upaya. Kalau sudah begini, biasanya luapan emosi tidak terkendali, area diskusi atau ta’lim yang seharusnya diisi kalimat santun, akan
berubah menjadi arena caci maki dan merendahkan satu sama lain. Naudzubillah.
Sehingga menurut hemat kami, ditengah- tengah
masyarakat yang majemuk pemahamannya, lebih baiknya agar menflor pendapat yang
berbeda-beda itu dengan adil. Hal ini selain akan membuat setiap orang merasa
diayomi, juga membahas masalah fiqih dengan tarjih (mencari pendapat yang kuat)
terkadang justru akan menimbulkan polemik baru. Menurut kita mungkin ini yang rajih,
tapi kata ulama lainnya kan tidak. ujung-ujungnya akan muncul kubu rajih satu,
rajih dua, rajih tiga dst. Kapan selesainya ? Apa tidak lebih bijak membiarkan
seseorang beramal dengan pendapat yang sekiranya menentramkan jiwanya ? Kalau
toh pendapat yang dipilihnya lemah, itu
bukan sesuatu yang salah. Hanya lemah.
Mungkin suatu saat nanti ia akan hijrah dengan sendirinya menuju
pendapat yang lebih arjah (kuat), manakala iman dan pengetahuannya telah
bertambah.
Wallahu a’lam.
[1] Al Majmu
Syarh al Muhadzdzab,1/360.
[2] Fiqh al
Islami wa Adilatuhu, 1/131.
[3] Al
Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 2/287. Fiqhul Islami wa Adillatuhu,
1/137.
[4] Syarhul
Kabir,1/93. Al Majmu Syarh al Muhadzdzab,1/361.
[5] Fiqh al
Islami wa Adilatuhu, 1/135.
[6] Ibid
[8]
Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/67. Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu,1/142. Al-Badai’,
I/127. Ad-Durru al-Muhtar, I/406. Fathu al-Qadir, I/185. Al-lubab, I/66. Hasyiyah al-Bajury,
I/149. Mughny al-Muhtaj I/148-150. Al-Muhadzab, I/70. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, III/243-252.
0 comments
Post a Comment