SYARIAT QURBAN



Berqurban merupakan sebuah syariat yang sudah ada semenjak generasi manusia pertama. Dalam Al Qur’an bisa kita simak bagaimana kisah aktivitas berqurban yang dilakukan oleh anak-anak nabi Adam ‘alaihissalam. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman : “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan Qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Maaidah 27).
Selanjutnya aktivitas berqurban ini  juga menjadi amaliyah bapak para nabi, Ibrahim ‘alaihissalam. Dan bahkan kemudian dikenal dari sinilah sumber syariat Qurban umat nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam berasal. Sebagaimana beliau menerangkan ketika ditanya oleh salah seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, apakah Qurban itu?” beliau menjawab: “Qurban adalah sunahnya bapak kalian Nabi Ibrahim.” (HR. Ahmad)
I.                    Pengertiannya

Qurban atau juga terkadang ditulis dengan : kurban, secara bahasa (etimologis) berasal dari kata Qaruba – Yaqrubu – Qurban – Qurbanan, Qaruba ilaihi artinya mendekat kepadanya.
Bila kita ambil contoh kata Qurban dalam al Qur’an, diantaranya adalah firman Allah ta’ala di surah al A’raf ayat 56 : “Inna Rahmatallahi Qariibun Minal Muhsinin” (Sesungguhnya Rahmat Allah dekat dengan orang-orang berbuat baik).
                Aktivitas menyembelih hewan di hari raya idul adha, yang oleh masyarakat kita lebih dikenal dengan istilah Qurban ini, ternyata dalam ilmu fiqih ia lebih dikenal dengan istilah yang lain, yakni  “udh-hiyah” (أُضْحِيَّة). Yang jamak katanya  adalah Al Adhaahiy.
Namun demikian Qurban dan Udhiyah telah ma’fum dipahami  dan dikenal sebagai sebuah ritual ibadah yang secara  yang didefinisikan  aktivitas atau sesuatu yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari nahr (10 Dzulhijjah) dan tasyriq dengan syarat yang khusus.[1]
Sedangkan dalam kalimat lain namun sebenarnya memiliki makna yang sama,  Qurban atau Udh-hiyah didefinisikan dengan :  menyembelih hewan tertentu dengan niat qurbah (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala pada waktu tertentu.[2]
Dari definisi diatas dapat dipahami, apapun yang disembelih bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, semisal untuk dimakan, dijual atau menyambut tamu itu bukanlah Udh-hiyah. Definisi ini juga membedakan aktivitas ibadah Qurban dari ibadah penyembelihan lain yang bukan pada waktu nahr dan hari tasyriq, seperti menyembelih hewan untuk aqikah atau nazar. Karena Qurban hanya dikerjakan pada hari yang tertentu sebagaimana yang disebutkan.[3]

II.           Pensyariatan Qurban

Ulama telah bersepakat bulat menyatakan, bahwa Qurban adalah sebuah ibadah yang disyariatkan dalam islam berdasarkan nas al Qur’an dan sunnah Rasulullah.[4] Dalil dalam al Qur’an adalah Firman Allah ta’ala : “Maka dirikanlah shalat dan berqurbanlah.” (Al Kautsar : 2)
Adapun dalil syariat Qurban dalam as Sunnah sangatlah banyak, meliputi perkataan, perbuatan dan penetapan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam atas ibadah Qurban. Yang bisa disimak penyebutannya dalam bab-bab penjelasan masalah ini.

III.             Hukum berqurban

Dalam Al Mausu’ah Fiqhiyah disebutkan bahwa Jumhur ulama berpendapat hukum berqurban adalah sunnah mu’akkadah.[5] Yakni pendapat dari mazhab Syafi’iyah, Hanabilah dan perkataan yang kuat dari kalangan mazhab Malikiyah. Ini pula yang diklaim menjadi pendapat Abu Bakar, Umar, Bilal, Abu Mas’ud al Badri, Sa’id bin Musayib, Alqamah, Aswad, Ishaq, Abu Tsur dan Ibnu Mundzir.  Demikian pula menurut satu riwayat,  Abu Yusuf juga menetapkan bahwa hukum Qurban menurutnya sunnah muakadah.[6]
Sedangkan Abu Hanifah dan para pengikut mazhabnya berpendapat bahwa hukum berqurban  adalah wajib sekali setiap tahun bagi orang-orang yang muqim dan memiliki kemampuan.[7] Mereka yang meninggalkan berqurban padahal memiliki kemampuan, terhitung sebagai orang yang bermaksiat kepada Allah. Yang juga turut memandang bahwa syariat Qurban hukumnya wajib adalah Al Laits, Al Auza'i, dan sebagian pengikut mazhab Imam Malik.[8]
Dalil yang digunakan oleh para ulama yang mewajibkan Adalah sebuah hadits yang berbunyi : “Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan dia tidak berqurban, maka janganlah ia dekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam mengomentari hadits ini, Imam Ash Shan’ani rahimahullah berkata :  “Hadits ini dijadikan dalil wajibnya berqurban bagi yang memiliki kelapangan rezeki, karena ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang mendekati tempat shalat, menunjukkan bahwa itu merupakan meninggalkan kewajiban, seakan Beliau mengatakan shalatnya tidak bermanfaat jika meninggalkan kewajiban ini. Juga karena firmanNya : “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.” Dalam hadits Mikhnaf bin Sulaim secara marfu’ berbunyi: “(wajib) atas penduduk setiap rumah pada tiap tahunnya untuk berqurban.” Lafaz hadits ini dzahirnya menunjukkan wajibnya berqurban.[9]

Sementara yang tidak mewajibkan, menyatakan bahwa dua hadits di atas tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), sebab kedua hadits tersebut dha’if. Sedangkan ayat : “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah” Tidak bermakna wajib kurban melainkan menunjukkan urutan aktifitas, yakni menyembelih kurban dilakukan setelah shalat Id.
Kalangan ini pun berdalil, seandainya hadits di atas katakan saja shahih, itu pun tidak menunjukkan kewajibannya. Sebab dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda : “Jika kalian memasuki tanggal 10 (Dzulhijjah) dan hendak berqurban maka janganlah mengambil sedikit pun dari bulu dan kulitnya.”( HR.Muslim)
Hadits tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa berqurban itu terkait dengan kehendak manusianya.  Oleh karena itu Imam Asy Syafi’i secara khusus menjadikan hadits ini sebagai dalil tidak wajibnya berqurban alias sunah muakkadah.[10]
Hadits lainnya yang menunjukkan tidak wajibnya Qurban : “Aku diwajibkan untuk berqurban, namun tidak wajib bagi kalian.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi)

IV.         Waktu Penyembelihan

Pada umumnya para ulama menetapkan bahwa waktu penyembelihan Qurban dimulai setelah Shalat ‘Ied (10 Zulhijjah) hingga selesai hari-hari tasyrik, yakni 11,12,13 Zulhijjah. Lewat itu maka bukan lagi disebut Hewan Qurban (Al Udh-hiyah) tetapi sedekah biasa. Hal ini berdasarkan hadits dari Jubeir bin Muth’im Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda : “Semua hari-hari tasyriq merupakan waktu penyembelihan.”(HR. Ahmad)
Penetapan awal waktu penyembelihan setelah shalat Ied, sesuai dengan ayat : “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.”
Ayat diatas menunjukkan bahwa an nahr (penyembelihan) dilakukan setelah shalat ‘Ied dikerjakan. Lebih gamblang lagi diterangkan dalam sebuah riwayat dari sahabat Jundab Al Bajali Radhiyallahu’anhu :  “Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat pada Idul Adha, kemudian berkhutbah dan berkata: barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat maka dikembalikan tempatnya, dan barangsiapa yang belum menyembelih maka sembelihlah dengan menyebut nama Allah.(HR. Muslim)

V.           Jenis Hewan Sembelihan

Tidak semua hewan bisa dijadikan sembelihan Qurban. Hanya hewan tertentu yang telah ditentukan syariat yang boleh digunakan untuk melaksanakan syariat yang satu ini. Sebab, ini adalah ibadah yang sudah memiliki petunjuk bakunya dalam syariat yang tidak boleh diubah, baik dengan cara dikurang ,ditambah atau dipindah.
Mengenai jenis hewan yang boleh dijadikan Qurban diantaranya diterangkan oleh Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah :  “Ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa hewan Qurban itu hanya dapat diambil dari hewan ternak (An Na’am) tidak selainnya. Mereka juga sepakat bahwa yang lebih utama adalah unta (Ibil), lalu sapi/kerbau (Baqar), lalu kambing (Ghanam), demikianlah urutannya.[11]
Dalil-dalil berqurban dengan unta dan sapi adalah, dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu :  “Kami haji bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kami berqurban dengan Unta untuk tujuh orang, dan Sapi untuk tujuh orang.” (HR. Muslim)
Untuk kambing, dalilnya adalah:  “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyembelih Unta dengan tangannya sendiri sambil berdiri, di Madinah Beliau menyembelih dua ekor kambing Kibas yang putih.” (HR. Bukhari)

Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk Qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai Qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi).

          Bahkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing Qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan, “Yaa Allah ini (qurba) dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud dan  Al Hakim).

Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor sapi dijadikan Qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Ini adalah pendapat jumhur ulama kecuali Imam Malik dan sebagian pengikutnya.[12] Pendapat jumhur ini didasarkan kepada hadits riwayat Jabir Radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam  lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk Qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam masalah pahala, ketentuan Qurban sapi sama dengan ketentuan Qurban kambing. Artinya bagian 7 orang untuk Qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut berserikat tersebut. Meskipun tentunya yang lebih utama apabila seseorang itu berqurban untuk dirinya dan keluarganya saja.
Adapun tentang hadits : “…Kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” maksudnya adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang, dst.[13]

VI. Syarat-Syarat Hewan Layak Qurban
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menuliskan ada dua syarat dari hewan yang akan dikurbankan :
1. Hendaknya yang sudah besar, jika selain jenis Adh Dha’nu (benggala, biri-biri, kibasy, dan domba). Jika termasuk Adh Dha’nu maka cukup jadza’ atau lebih.[14]
Unta dikatakan besar jika sudah mencapai umur lima tahun. Sapi jika sudah dua tahun. Kambing jika sudah setahun penuh. Bila hewan-hewan ini telah mencapai umurnya masing-masing maka sudah boleh dijadikan hewan kurban.

2. Hendaklah sehat dan tidak cacat. Maka tidak boleh ada pincang, buta sebelah, kurap (penyakit kulit), dan kurus. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda : “ Empat macam cacat fisik yang tidak boleh dijadikan kurban ; Hewan yang jelas buta, jelas sakit, pincang dan pecah kepalanya sampai rusak otaknnya.” (HR. al-Jama’ah)

VII.        Upah Untuk Penjagal (Penyembelih)
Boleh saja memberikan imbalan kepada penyembelih hewan Qurban. Namun tidak boleh imbalan itu diambilkan dari bagian daging Qurban. Hendaknya diambilan dari sumber dana lain.  Sebab daging Qurban adalah harta yang dipersembahkan, oleh karena itu dia tidak boleh dijadikan sebagai alat pembayaran atau dijual belikan, termasuk bahkan kulitnya.  Demikianlah menurut ijma’ (kesepakatan) para ulama. Namun, penyembelih dibolehkan diberikan sedekah darinya, dan tidak dinamakan upah.
Dalilnya adalah sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu :  “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan unta-untanya dan membagi-bagikan kulit dan dagingnya, dan saya diamanahkan agar tidak memberikan si tukang potong dari hasil potongan itu (sebagai upah).” Ali berkata: “Kami memberikannya upah dari kantong kami sendiri.” (HR. Muslim)

VIII. Cara Pembagian Daging Kurban
Ulama bersepakat bahwa orang yang berqurban boleh untuk turut serta memakan daging hewan Qurban yang disembelihnya. Jadi sama sekali tidak benar bila ada yang beranggapan orang yang berqurban tidak boleh memakan sedikitpun daging Qurbannya. Karena Allah ta’ala telah berfirman : “Apabila telah roboh (hewan Qurban itu), maka makanlah sebahagiannya, dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (al Hajj :36)[15]
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memaparkan cara pembagian daging hewan Qurban sebagai berikut :  “Si pemilik hewan kurban dibolehkan makan sesuai keinginannya tanpa batas. Dia pun boleh menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan  boleh juga menjadi tiga bagian, untuknya sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga.”[16]


Demikian penjelasan tentang masalah ini, semoga bermanfaat. Wallahu ta’ala a’lam





[1] Syarh al Minhaj (4/294), Dar al Mukhtar Hasyiyah Ibn Abidin (5/111).
[2] Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Hal. 252.
[3] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (5/74).
[4] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (5/75).
[5] Sunnah Mu’akadah adalah sunnah yang sangat ditekankan dalam islam pengamalannya,  karena demikian keras anjurannya, sehingga mendekati hukum wajib.
[6] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (5/78).
[7] Mampu menurut mazhab Hanafi adalah mereka yang memiliki harta sebanyak nisab zakat, sedangkan menurut mazhab Maliki adalah mereka yang memiliki kelebihan uang setelah keperluan selama setahun. Mampu bagi Mazhab Syafii adalah mereka yang memiliki harga untuk membeli hewan pada hari raya tersebut, sedangkan Mazhab Hanbali mendefinisikan mampu dengan kemampuan seseorang yang dapat membeli hewan qurban pada hari itu walaupun dengan meminjam, dengan syarat dia dapat melunasinya dengan segera. (Fiqih Islam wa adillatuhu , jilid 4, bab qurban ).
[8] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (4/245)
[9] Subulus Salam (6/308).
[10] Subulus Salam (6/ 308-309).
[11] Fiqhus Sunnah (1/737).
[12] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (8/163).
[13] Bidayah Al-Mujtahid (I/317).

[14] Jadza’ adalah hewan umur enam bulan penuh dan gemuk badannya.
[15] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (6/155).
[16] Fiqhus Sunnah ( 1/742-743).