Isyarat Telunjuk Saat Tasyahud Menurut Syafi’iyah

Pertanyaan :

Bapak pengasuh, saya adalah orang awam yang tidak banyak tahu masalah agama. Sehingga dalam banyak tatacara beribadah, saya mungkin tergolong ikut-ikutan. Saya mempunyai anak yang belajar agama di salah satu halaqah seorang ustadz. Sebagaimana kebanyakan anak muda, ia amat kritis termasuk kepada amaliyah yang saya lakukan. Nah, baru-baru ini anak saya memprotes saya dalam tatacara berisyarat telunjuk dikala Tasyahud, yakni saya berisyarat pada saat kalimat syahadat. Kata anak saya yang benar adalah berisyarat sejak awal tasyahud.

Saya mohon agar pengasuh menjelaskan dalil-dalil isyarat tasyahud seperti yang saya lakukan dan umum dilakukan orang-orang itu. Agar saya bisa tentram dengan amalan saya dan anak saya bisa dapat pembanding agar tidak mudah menvonis salah amalan orang. Dan saya mohon kiranya pertanyaan saya ini bisa dimuat. Hamba Allah – Sangatta.

Jawaban :
Bapak yang dirahmati Allah. Semoga rahmat kasih sayang dan kelembutanNya senantiasa terlimpah pada bapak dan semua orang tua kaum Muslimin.

Masalah Tasyahud ini telah kami bahas diedisi yang telah lalu. Dimana mengenai masalah ini ulama mazhab memang berbeda pendapat. Adapun berisyarat dikala kalimat syahadat – yang bapak katakan sebagai amalan umumnya orang- adalah berdasarkan mazhab Syafi’iyah. Sedikit koreksi, umum disini tentu dengan konteks masyarakat kita, khususnya Indonesia. Karena memang mayoritas kaum muslimin Indonesia bermazhab Fiqih Syafi’i. Adapun di negara lain, semisal disaudi, yang umum diamalkan orang, boleh jadi yang seperti  anak bapak katakan.

Pada intinya, pendapat yang saling berbeda selama merujuk kepada ulama harus saling memahami dan menghargai. Sikap arogansi dengan merasa pendapatnya benar sendiri biasanya lebih karena tidak utuhnya pemahaman atau disebabkan hawa nafsu belaka.

Dalil Syafi’iyah mengenai tasyahud pada kalimat Syahadat


Imam Syafi’I t –dan demikian juga imam mazhab lainnya- adalah ulama yang telah diakui keilmuan, keshalihan dan kehati-hatian mereka dalam merumuskan hukum syariat. Tentu saja apa yang sudah sang imam simpulkan dari sebuah masalah hukum adalah dengan melalui sebuah proses ‘perenungan dan penyaringan’ yang dalam. Yang seharusnya, orang sekelas kita-kita ini, harus tahu diri bila hendak mendebat pendapat mereka.

Apalagi pendapat mereka sudah terformulasi dalam madrasah keilmuan syariah tingkat tinggi yang disebut mazhab. Dimana setiap pendapat akan diuji, dikaji, diteliti ulang, dikoreksi dan bahkan dikritisi oleh ribuan ulama dari segala penjuru dunia dan lintas masa.

Termasuk dalam masalah tasyahud ini, tentu tidak gampang-gampang mazhab Syafi’I main ketok palu menetapkan hukum syariah. Karena ternyata Syafi’iyah ketika berpendapat isyarat jari dalam tasyahud pada kalimat tahlil berdasarkan dasar dalil yang tidak bisa disepelekan. Berikut diantaranya berikut penjelasan singkat mengenai hal ini.

1.     Rasulullah SAW ketika mengatakan ‘Asyhadu’ atau ‘Allahumma Isyhad’ suka berisyarat dengan telunjuknya.

Dalam shahih Muslim, Jabir a menyebutkan bahwa “Rasulullah n bersabda seraya (berisyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya ke langit dan melemparkan (mengisyaratkan ke bawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’, Beliau mengucapkannya tiga kali.”

Telunjuk disebut juga syahid (saksi), sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia berisyarat dengan telunjuk tersebut. Dan aktivitas berisyarat dengan jari dalam tasyahud dalam ilmu fiqih disebut musabihah karena menunjukan pada pengesaan dan pensucian. Demikian pula yang biasa dilakukan Nabi n.[1]

Imam Badrudin al ‘Aini ketika mensyarah hadits masalah ini mengatakan : “Dengan inilah kemudian kebanyakan ulama menyukai berisyarat ketika tasyahud pada kalimat ‘Illa Llah’ dari syahadat.”[2]

2.       Rasulullah berisyarat jari telunjuk manakala mentauhidkan Allah l.

Disebutkan dalam sebuah atsar : “Rasulullah n melakukan itu (Isyarat) ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang Mahamulia dan Mahaluhur.” (HR. Baihaqi)

Dalam riwayat lain, “Sesungguhnya Nabi n hanya menghendaki dengan (isyarat) itu adalah ketauhidan.” Sedangkan ungkapan ketauhidan terdapat dalam kalimat syahadat itu. (Imam Baihaqi II:133)

 Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar…”. (Mujma’ Al-Zawaid II:140)

Imam an Nawawi t berkata : “Disunatkan mengangkat jari telunjuk dari tangan kanan ketika melafazkan huruf ‘hamzah’ pada kalimah ( Illa Llah ) sekali saja tanpa menggerak-gerakkanya.[3]

Imam Al-Baihaqi t mengatakan “Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyarat- kannya pada kata illallah….”. (Syarh As-Sunnah III:177)

Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya yang fenomenal Fiqh al Islami, ketika menjelaskan bab sunnah meletakkan kedua tangan pada kedua paha, meskipun beliau menyebutkan tatacara berisyarat jari dalam tasyahud menurut mazhab lain, namun beliau awali dengan perkataan “Posisi kedua tangan dipaha lurus kedepan hingga ujung jari-jarinya diatas kedua lutut kecuali jari telunjuk kanan yang diangkat ketika membaca syahadat dalam tasyahud.”[4]

Penutup

Saudaraku, perbedaan pendapat adalah hal yang sah-sah saja dalam islam selama tidak dirusak dengan prilaku saling menjelekkan atau tindakan lain yang merusak kemesraan sesama muslim. Bila sebuah perbedaan pendapat diteruskan dengan caci maki dan penghina,  maka hal ini harus dihindari, karena telah berubah menjadi keharaman. Bukan perbedaan pendapatnya yang dihukumi haram, sikap rendah dan tidak beradab itulah yang haram.

Sebuah untaian mutiara hikmah mengenai masalah ini adalah apa yang telah dikatakan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz t : "Aku tidak suka seandainya mereka (para sahabat Nabi) tidak berbeda pendapat. Karena kalau mereka bersepakat atas sesuatu, lalu orang meninggalkannya, maka orang itu telah meninggalkan sunnah. Tapi karena disebabkan perbedaan pendapat diantara shahabat, orang yang mengambil pendapat salah seorang di antara mereka, tetaplah berpegang kepada sunnah."

Kemudian Beliau mengirimkan (perintah) ke seluruh negeri-negeri, agar setiap kaum memutuskan (perkara) sesuai dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama' mereka.[5]

Bagaimana mungkin kita masih mau meributkan masalah khilafiyah dengan cara-cara yang tidak pantas, padahal syariat telah melarang hal tersebut dengan larangan yang keras.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kumpulan suatu kaum  itu merendahkan merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.” (QS. Al Hujarat :12)

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)


Demikian. Wallahu a’lam.


[1] Imam Darimi ( 1/314-315) dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar (3/51). Lihat pula Mughni al Muhtaj (1/378), al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (4/282).
[2] Syarah Abi Dawud al ‘Aini (4/272)
[3] Fatawa Imam an Nawawi hal.54.
[4] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/89).
[5] Sunan Ad-Darimi, bab 52 Ikhtilaful Fuqaha, atsar no.641.

0 comments

Post a Comment