Bagaimana Dalil Shalat Awwabin?

Pertanyaan :
Saya adalah orang yang biasa mengerjakan shalat Awwabin, yakni shalat sunnah ba’da maghrib sebanyak 6 raka’at. Hal ini lazim saya lakukan sampai kemudian saya mendapat nasehat dari seorang ulama agar hendaknya kelaziman saya mengerjakan shalat 6 raka’at ba’da maghrib tersebut tidak dilakukan. Beliau memepersilahkan mengerjakan shalat sunnah ba’da maghrib –karena itu memang disunnahkan- hanya tidak perlu dengan terikat bilangan tertentu. Beliau beralasan bahwa shalat Awwabin ini  hadits-hadits yang menerangkan tentangnya adalah lemah. Mohon penjelasan dari bapak pengasuh. Hamba Allah – Bontang.

Jawaban :
Istilah Awwabin mungkin masih terasa asing ditelinga sebagian orang, hal ini mungkin disebabkan karena memang masalah ini jarang sekali dibahas. Meskipun sebenarnya istilah Awwabin ini telah disebutkan disejumlah hadits nabawi.

Terlebih bila kata Awwabin dikaitkan untuk nama sebuah amalan shalat sunnah, bisa dikatakan hal ini hanya familiar dikalangan tertentu saja. Karena itu diedisi jum’at kali ini, kita akan mencoba mengurai tentang apa itu Awwabin dan hukum shalat-shalat yang sering disebut sebagai shalat Awwabin.

Makna Awwabin

Kata Awwabin jama' (bentuk plural) dari Awwab, maknanya: orang yang taat, yang kembali kepada ketaatan, atau orang yang kembali  kepada taubat dan ketaatan. [1]

Menurut Imam al-Shan'an rahimahullah "Al-Awwab adalah sebutan bagi mereka yang banyak kembali  (bertaubat) kepada Allah Ta'ala dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa dan melaksanakan perbuatan-perbuatan baik."[2]

Apa Maksud Shalat Awwabin?

Mayoritas ulama menyatakan bahwa penamaan shalat sunnah ba’da maghrib sebagai shalat Awwabin adalah tidak tepat. Karena istilah awwabin yang sesuai itu adalah untuk shalat sunnah dhuha. Ini Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasan di waktu Dhuha." (Mutafaqqun ‘Alaih)[3]

Dan dalam sebuah hadits lainnya disebutkan perkataan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu  :  "Kekasihku shallallahu 'alaihi wasallam mewasiatkan kepadaku untuk berpuasa tiga hari dari setiap bulan, shalat witir sebelum tidur, dan dari shalat Dhuha, maka sungguh itu adalah shalatnya awwabin (shalatnya orang-orang yang banyak taat kepada Allah)." (HR. Ahmad dan Ibnu Huzaimah)

Kalangan ini menambahkan mengapa shalat dhuha yang dikerjakan pada waktu onta sudah kepanasan (Waktu menjelang tengah hari atau kira-kira seperempat jam sebelum adzan Dhuhur) disebut Awwabin, karena ia dikerjakan pada waktu padatnya aktivitas, maka dengan mengerjakan shalat di dalamnya menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh dalam  mencari ridha Allah ta'ala dari pada menuruti keinginan jiwa.

Sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Awwabin digunakan sebagai istilah untuk shalat sunnah yang dikerjakan ba’da maghrib dengan bilangan tertentu.  Yakni dengan bilangan; dua raka’at, empat rakaat, enam rakaat, sepuluh rakaat, sampai dua puluh rakaat.  Penamaan ini berdasarkan sebuah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang shalat 6 raka’at setelah maghrib maka akan ditulis sebagai golongan Awwabin.[4]

Manakah yang benar?

Harus diakui bahwa pendapat pertama lebih didukung oleh dalil yang lebih kuat. Dan ini pula yang menjadi pendapat mayoritas ulama. Namun tidak menutup kemungkinan pula, bahwa keduanya bisa saja disebut Awwabin.

Dalam kitab Al Mausu’ah dikatakan : Shalat ini (shalat sunnah ba’da Maghrib) disebut Awwabin karena sebab adanya hadits diatas (Hadits riwayat Ibnu Umar). Dan ia juga disebut shalat ghoflah. Sedangkan penamaan shalat Awwabin tidaklah bertentangan dengan hadits shahihain dari perkataan Rasulullah n :  "Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasan di waktu Dhuha," karena tidak menutup kemungkinan keduanya sama-sama bisa disebut shalat Awwabin.[5]

Ini pula yang menjadi pendapat kalangan ulama Syafi’iyah, mereka memandang bahwa shalat dhuha dan shalat sunnah ba’da maghrib berserikat dalam nama Awwabin.[6]

Demikian juga para ulama lainnya cendrung tidak terlalu mempermasalahkan penyebutan Awwabin untuk shalat sunnah ba’da maghrib ini.[7]

Hukum mengerjakan shalat Awwabin

Apakah shalat Awwabin disyariatkan ? Bila shalat awwabin yang dimaksud adalah sebagian dari shalat Dhuha, yakni shalat dhuha yang dikerjakan saat matahari sudah meninggi dan memanaskan pasir dan bebatuan, sehingga anak onta mengangkat kakiknya karena kepanasan. Maka telah jelas hukum dan pensyariatannya (silahkan untuk melihat pembahasan hal ini diedisi yang telah lalu : Hukum shalat dhuha).

Sedangkan apabila yang dimaksud dengan shalat Awwabin  ini adalah shalat ghoflah atau shalat ba’diyah maghrib, sebagaimana yang ditanyakan, berikut penjelasannya yang kami sarikan dari kitab al Mausu’ah :

“Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan fuqaha (para ahli fiqih) bahwa menghidupkan (dengan shalat) antara maghrib dan isya adalah sunnah. Menurut Syafi’iyah dan Malikiyah kesunnahannya sampai derajat sunnah muakkadah. Dan kalangan Hanabilah menguatkannya.[8]

Berapa jumlah raka’atnya?


Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah raka’at shalat yang dianjurkan untuk dikerjakan pada shalat Awwabin/Ghoflah/ ba’da Maghrib.

Pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang dianjurkan untuk dikerjakan antara dua shalat (maghrib dan isya) adalah 6 raka’at, ini adalah pendapat Abu Hanifah, dan ini pula pendapat yang rajih dari mazhab Hanabilah.  Dalil yang digunakan adalah dalil dari Ibnu Umar diatas (“Barangsiapa yang shalat 6 raka’at setelah maghrib maka akan ditulis sebagai golongan Awwabin).

Kalangan mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa paling sedikit ia dikerjakan dua raka’at dan yang paling banyak 20 raka’at. Dalilnya yang digunakan adalah sebuah hadits "Barangsiapa shalat 20 rakaat setelah maka Allah mambangun rumah di sorga untuknya." (HR Tirmidzi)

Sedangkan kalangan Mazhab Malikiyah tidak membatasi jumlah raka’atnya, namun yang terbaik menurut mazhab ini adalah dikerjakan sebanyak 6 raka’at.

Sedangkan sebagian ulama lainnya menolak pembatasan shalat ini menjadi bilangan tertentu.  Mereka menganggap hal ini tidak perlu dilakukan  karena hadits-hadits yang menerangkan pembatasan jumlah raka’at shalat sunnah antara Maghrib dan Isya semuanya lemah.

Bagaimana dengan kalangan yang mempermasalahkan kesahihan hadits-hadits bilangan shalat ini?

Harus diakui bahwa hadits yang menyatakan jumlah bilangan tertentu raka’at dari shalat ini semua dha’if. Sehingga sebagian ulama kemudian menolak mengamalkan shalat sunnah ini melebihi dua raka’at.

Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits-hadits dha’if tersebut dipandang bukan sebagai hadits ahkam (hukum) yang melandasi sebuah amalan, dalam hal ini shalat Awwabin, tetapi hanya sebagai fadhilahnya.

Diantaranya apa yang dijelaskan oleh Imam Shaukani dalam Nailul Autar setelah menyebutkan hadist-hadist tentang bilangan raka’at shalat ba’diyah maghrib ini, beliau menjelaskan hadist-hadistnya memang semuanya dha’if (lemah), namun semuanya bermakna penganjuran memperbanyak shalat sunnah ini.[9]

Kesimpulan


Ulama berbeda pendapat tentang penamaan Awwabin untuk shalat sunnah antara Maghrib dan Isya. Sebagian membolehkan sebagian yang lain menolak. Yang menolak beralasan bahwa penaman ini hanya untuk shalat dhuha  yang dikerjakan diwaktu tertentu.

Ulama sepakat bahwa shalat sunnah ini paling sedikit dikerjakan 2 raka’at. Namun mereka berbeda pendapat tentang bilangan raka’at yang mustahab (disukai) untuk dikerjakan.  Namun diketahui bahwa jumhur ulama berpendapat maksimal 6 raka’at.

Selesai. Wallahu a’lam.


[1] Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi no. 1237, Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (27/133).
[2] Subul al-Salam, (2/293)
[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (27/134).
[4] Dikatakan hadits ini disebutkan dalam Syarah Fath al Qadir, lihat Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (2/273)
[5] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (2/238).
[6] Mughni al Muhtaj (1/225)
[7] Nail al Authar (3/55), Fath al Qadir (1/317), al Iqna’ (1/108).
[8] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (2/237).
[9] Nail al Authar (3/55).