MANAKAH YANG BERLAKU, THALAQ DI PENGADILAN ATAU YANG DIUCAPKAN SUAMI ?





Sebagaimana yang umum terjadi, perceraian suami istri diatur oleh pengadilan agama. Sepasang suami istri dikatakan sah berpisah, bila pengadilan telah memutuskan hal tersebut. Namun, dari beberapa pengajian saya mengetahui tidak demikian, menurut syariat islam ikatan suami istri yang bercerai itu bukan oleh pengadilan, tetapi terjadi sejak thalaq yang dijatuhkan seorang suami. Bahkan disalahsatu pengajian, seorang ustadz mengharamkan merujuk aturan pemerintah karena Negara kita bukan Negara Islam. Saya bingung harus mengikuti yang mana. Mohon pencerahan dari bapak ustadz.

Jawab :
          Allah subhanahu wata’ala menurunkan aturan untuk mengatur kehidupan manusia yang disebut syariat agama. Dan sebagai seorang muslim yang beriman dengan aturan tersebut, sudah pasti kita menginginkan bahwa aturan Allah-lah yang dijadikan sebagai panduan untuk mengatur kehidupan. Termasuk dalam masalah pernikahan, Allah telah  menetapkan aturan dan tuntunan, yang itu semua tentunya  wajib untuk ditaati hamba-hambaNya. Meninggalkan hukum dan aturan syari’at Allah dalam masalah pernikahan, sudah pasti akan menyebabkan tidak sahnya pernikahan seseorang. Dan bila demikian, hubungan rumah tangga antara seorang laki-laki dan perempuan tersebut tidak ubahnya zina meskipun sah dimata masyarakat bahkan punya legalitas dari negara.

Indonesia bukan Negara Islam ?
Negara kita memang bukan negara Islam, ini jika dilihat dari aturan  dan perundang-undangan yang berlaku dinegeri ini. Karena memang hukum yang berlaku di Indonesia bukanlah hukum Islam.
          Namun sebaliknya, negara kitapun bukan pula negara sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan masyarakatnya. Bahkan, dengan tegas dalam UUD 1945, Negara menyatakan “keterlibatan” Allah dalam proses berdirinya Negara ini. Demikian juga ternyata tidak sedikit perundang-undangan di negara republik Indonesia yang sejalan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan dasar Negara kita pancasila, butir pertama silanya dengan tegas menetapkan ketauhidan, bahwa tuhan itu hanya satu. Senafas dengan  Laailaha illallah.
Meskipun negera kita tidak menerapkan syariat Islam. Namun kita umat Islam di Indonesia masih patut bersyukur, Karena Negara atau pemerintah kita tetap memperhatikan hajat kaum muslimin untuk menjalankan agamanya dengan baik. Bila kita mau jujur melihat, banyak perundangan, lembaga dan beberapa aspek-aspek kehidupan yang dibutuhkan umat Islam telah disediakan oleh Negara. Diantaranya :
  1. UU No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agama (Kini UU No. 3,72006)
  2.  UU No. 7/1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini UU No. 10/1998)
  3. UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
  4. UU No. 38/ 1000 tentang Pangelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZTS)
  5. UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam
  6. UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam
  7. UU No. 4 1/2004 tentang wakaf
          Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain:
  1. PP No.9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan
  2. PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
  3. PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
  4. Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
  5. Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD
          Dan sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama.
          Pernyataan bahwa Negara kita bukan Negara Islam, ya memang benar. Tetapi serta merta karena bukan Negara Islam sehingga tidak boleh ditaati ini yang tidak sepenuhnya benar. Karena secara umum kita diperintahkan untuk taat kepada Pemerintah yang sah oleh Allah dengan firmanNya : “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan RasulNya, dan pemimpin – pemimpin diantara kalian.”
          Masalah ini akan kami bahas dengan lebih mendetail di pembahasan yang akan datang.

Kompilasi hukum Islam (KHI)
Aturan pemerintah yang menyangkut masalah pernikahan, perceraian, hak asuh anak, juga masalah pembagian harta waris, sebagaimana yang banyak kita kenal dengan istilah “Kompilasi Hukum Islam (KHI)”. KHI inilah yang menjadi rujukan utama lembaga agama bentukan pemerintah dalam memutuskan perkara umat termasuk masalah perceraian.
Sayangnya, kompilasi hukum Islam yang disusun sejak tahun 1974 ini banyak menuai kontroversi, lantaran terdapat banyak hal-hal yang menyangkut hukum-hukum Islam yang cenderung bersebrangan dengan hukum-hukum Islam yang sebenarnya. Bahkan sesuatu tidak pernah dikenal dalam khazanah keilmuan fiqih baik klasik maupun kontemporer.
Contohnya saja, dalam menyangkut masalah harta gono gini.  Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 96 ayat 1 disebutkan : “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”.
Aturan ini tentu saja jelas-jelas bertabrakan dengan syariat pembagian harta waris yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam Al Quran yang bersifat tetap (tsawabit), ritual (ta’abbudi), yang tidak bisa berubah walaupun dengan perubahan tempat dan waktu serta kondisi.
Dan masih banyak lagi pasal-pasal yang menyangkut masalah lainnya yang bukan hanya tidak sejalan tetapi menabrak aturan syariat yang mapan. 

Lantas bagaimana apakah cerai karena thalaq suami atau pengadilan Negara ?
Semua kitab fiqih tegas mengatakan bahwa bila seorang suami menyatakan kepada isterinya, "kamu saya cerai", maka jatuhlah talak satu. Bahkan tanpa perlu ada saksi, apalagi pengadilan dan segala embel-embelnya.
Saya sendiri belum mendapatkan informasi yang valid tentang adanya ketentuan jatuhnya thalaq harus lewat pengadilan yang diatur dalam LHI. Sebagian informan memang mengatakan kepada saya sebagaimana yang penanya katakan, sebagian lagi mengatakan sebliknya, bahwa peran pengadilan agama hanya untuk mendamaikan bukan untuk memutuskan, kecuali jika memang terjadi perceraian dan pengadilan agama diminta untuk melegalkan perceraiannya secara hukum. Sumber tersebut juga mengatakan dalam KHI perceraian itu diakui dengan sebab 3 (tiga) hal : Kematian, Perceraian dan pengadilan.
 Jika memang informasi tentang aturan Negara bahwa perceraian hanya lewat pengadilan agama  saja yang sah, itu benar, jelas bahwa aturan tersebut keliru besar dan tidak bisa dijadikan rujukan. Tinggalkan aturan tersebut, karena ini bertentangan dengan aturan syariat yang jelas dan tegas. Merujuklah kepada aturan agama dalam masalah ini. Jika seorang suami sudah menthalaq istrinya, jatuhlah cerai dalam pandangan Allah bagi pernikahannya, meskipun pengadilan agama belum menceraikan.
Lain halnya jika masalah rumahtangga dibawa kepengadilan agama untuk mendapatkan nasehat, masukan dan pemecahan masalah. Selama tidak ada aturan dipengadilan agama yang mengatakan A sedangkan tuntunan syariah mengatakan B maka sah-sah saja. Misalnya seorang suami yang memang ingin menceraikan istrinya didepan pengadilan agar thalaqnya dinilai adil, silahkan saja dia mendatangi pengadilan agama untuk keperluan tersebut.

KHI hasil jerih payah umat
Kekurangan dan bahkan kekeliruan dalam LHI dan juga  bentuk aturan lainnya dipengadilan agama, tentu bukan untuk disikapi secara apriori. Karena bagaimanapun, jika kita mau berbaik sangka, adanya kompilasi hukum Islam yang sejak puluhan tahun yang lalujuga merupakan hasil jerih payah dan ijtihad para ulama’ Indonesia terdahulu.
Boleh jadi dirumuskannya Kompilasi Hukum Islam pada waktu itu tidak bisa terlepas dari latar belakang sosial dan kondisi yang ada pada saat itu. Masyarakat yang masih sangat awam terhadap aturan Islam. Sehingga aturannya pun ‘menyesuaikan’ dengan keawaman tersebut. Bisa saja ijtihad tersebut keliru dan harus segera dibenahi dimasa kini. Namun yang perlu diapresiasi, setidaknya mereka diwaktu itu yang berijtihad sudah berusaha dan berupaya sekuat tenaga dalam rangka membumikan hukum Allah, namun baru itu yang bisa mereka lakukan. Mungkin para ulama kala itu berpedoman : maa la yudraku kulluhu, laa yutraku kulluhu. Artinya, sesuatu yang tidak bisa dilakukan secara keseluruhan, maka tidak ditinggalkan secara keseluruhan. Jadi, mengerjakan sebagian itu lebih baik, dari pada tidak sama sekali.
Meski juga tidak bisa disalahkan kalau ada yang nyeletuk, rada repot kalau semua serba setengah-setengah. Gelas bila berisi bensin setengah, air setengah. Kalau diisikan ke tangki motor mogok, diminum orang mabok.
Hukum yang gado-gado dan rasanya nano-nano seperti ini paling tidak imbasnya membuat umat makin galau. Mau tidak ditaati, tapi ini aturan Negara yang mengatur masalah agama, sebaiknya mau ditaati, faktanya aturannya bermasalah.
Penutup
Pada akhirnya, harapan besar umat Islam khususnya di Indonesia ini adalah hadirnya kader-kader umat yang mempunyai kapasitas keilmuan syar’i yang memadai, yang memiliki potensi dan posisi untuk bisa meneruskan estafet perjuangan, menjawab tantangan serta mewujudkan cita-cita umat Islam, dibumikannya kembali hukum-hukum Islam di Indonesia.
Tugas generasi Islam Indonesia saat ini adalah berupaya sekuat tenaga membumikan keseluruhan hukum Islam yang telah digariskan Allah di dalam Al Quran maupun Sunnah. Meneruskan perjuangan pendahulu kita dalam mengawal dan mempertahankan beberapa gelintir hukum-hukum Islam yang telah berlaku di Indonesia. Dari makar jahat yang berusaha untuk merontokkannya. Jangan sampai kasus tragis seperti pencoretan kalimat : wajibnya menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya dari dasar Negara kita dahulu terulang lagi.

Wallahua’lam.